Monday, December 1, 2008

cerpen Indonesia, anak muda kreatif

Di Dalam Toilet, di Atas Kloset
by Arki Atsema

Toilet begitu sunyi malam ini. Entah apa yang dipikirkan oleh lalat-lalat kecil yang terbang mengitari lampu redup di atas kepalaku, yang tampak menikmati bau pekat di dalam ruangan menyedihkan ini bersama-sama. Betapa aku telah mencapai suatu tingkat kenyamanan yang membuai dengan duduk di sini sambil merasakan bokongku berkarat perlahan-lahan. Semilir angin dingin menerobos melalui ventilasi menyebarkan rasa kantuk berkali-kali. Api rokok terpejam dan menyala mengikuti irama denyut jantung. Samarnya suara tikus yang mencicit jauh di sana, menambah sempurnanya suasana tenang yang mengiringi parade ritual sakit perut yang kualami.
Walau sebenarnya perutku yang melilit itu sudah tenggelam di dasar WC beberapa menit yang lalu, namun sisa batang rokok yang terbakar ini menahanku untuk menikmati kesendirian dari dalam bilik sempit ini barang sejenak. Tak banyak yang kulakukan, selain melubangi paru-paruku lewat setiap tarikan napas dan memandangi sekelompok lalat yang tampak malu-malu untuk menyapaku. Kesendirian memang selalu terasa dingin seperti sebuah rumah kosong dimana kepulanganku dari keramaian dan berisiknya suara manusia dan keangkuhan wajah kota besar, disambut dengan pintu-pintu yang terbuka lebar. Ketidakpedulian menyelimuti diriku, ini adalah saat-saat yang indah untuk memikirkan diri sendiri dan menolak segala hal lain yang masuk ke dalam otak.
Empat sisi tembok putih menatapku dengan wajah yang pucat. Mereka tak mampu menyembunyikan lukanya yang terkelupas oleh roda waktu dan tangan-tangan jahil yang telah merampas keperawanannya yang putih. Tetesan dan rembesan air mata yang jatuh dari langit mewarnai umur tembok-tembok ini lewat garis-garis kecokelatan yang merambat pelan dari atap menuju basahnya lantai keramik. Begitu banyak hal yang telah mereka lalui dan ribuan wajah yang telah mereka lindungi. Tidak ada yang melebihi kesetiaan mereka dalam mendengarkan setiap keluhan para penyendiri yang tak berdaya. Betapa mereka telah meredam isak tangis para manusia kesepian dan menjaga setiap aduannya untuk tidak keluar dari ruangan ini. Dan lihatlah kerelaan mereka menyodorkan wajahnya untuk dijadikan kanvas yang merekam sidik jari riwayat sifat tolol dan kekanak-kanakan manusia melalui goresan tinta tak bertanggungjawab. Kini aku merasa sedikit malu dengan tembok-tembok ini yang mengepungku seakan sedang menghakimi aku atas semuanya yang telah mereka alami.
Aku memperhatikan dengan mata yang sombong kepada setiap coretan di sisi kanan tembok tempatku duduk. Seperti melihat sejarah kehidupan manusia yang pertama ditoreh lewat lukisan-lukisan di dalam gua-gua purba yang gelap dan tanpa kusadari bahwa jarak waktu yang ditempuh dari jaman itu hingga sekarang adalah bukti jalur perkembangan hidup umat manusia yang telah begitu panjang teraspal. Ratusan kata terangkai dalam warna-warni yang tersusun dengan berantakan dan saling bertautan membentuk lukisan abstrak di atas alas yang pasrah. Karya seni ini mengundang jiwa pengamatku untuk menelusurinya satu persatu.
’Sekali berarti, sudah itu mati’ tulisan itu berkata. Dilapisi oleh warna merah yang menyerupai darah dan goresan tegas membentuk tiap hurufnya. Sebuah kutipan milik seorang penyair besar yang tampak telah merasuki jiwa si penulis. ’Aku mau hidup seribu tahun lagi’ tulisan lain tak jauh dari yang pertama bersandar dengan berhiaskan gambar kawat berduri di sekitarnya dan tiga buah tanda seru di belakangnya. Seketika tembok ini menyiratkan hawa perasaan hangat manusia. Tampak jelas di mataku sekumpulan emosi yang tersurat dengan lantangnya menyuarakan batin yang selalu berteriak. Lima baris puisi terpampang di atas tembok yang sama. Ditulis dengan warna gelap. ’Yang terakhir mati adalah harapan’, begitu baris akhirnya berbunyi. Rasa kecewa terekam jelas lewat kata-katanya.
Kesedihan, rasa pasrah, sedikit kemarahan, air mata, benci, harapan kosong dan tentunya perasaan kecewa adalah tema yang menumpuk pada sastra tembok ruang WC ini. Sedikit demi sedikit semuanya merambat ke dalam diriku dan dalam hati kecilku, aku mendapati segenggam kebenaran yang coba dipancarkan oleh tulisan-tulisan itu. Betapa hidup tak ubahnya semacam arena perang untuk saling mengungguli, saling menyisihkan, dan saling menjatuhkan. Dan kekalahan akan datang kepada mereka yang berani menanggung rasa nyeri, siap ataupun tidak. Semakin lama aku semakin tertarik untuk membawa setiap tulisan-tulisan ini ke dalam ruang perenunganku.
Dalam keheningan yang membius, aku dibangunkan oleh rasa terkejut. Dari bawah tembok sastra ini, di celah antara tembok dan lantai toilet, sebuah tangan manusia terjulur dengan telapak tangan menengadah ke arak mukaku. Aku tak ingat bahwa ada seseorang di bilik sebelah.
”Boleh minta rokok?” telapak tangan kemerahan itu berkata. Lima detik kemudian aku bereaksi, mengambil sebatang rokok dari saku kemeja dan meletakkannya bersama korek api di atas tangan itu.
”Ambil saja,” seruku.
”Oh terima kasih.” Dan tangan itu menghilang lalu tak lama kemudian suara percik api bergema memadati ruangan.
Hembusan napasnya terdengar amat jelas di kedua telinga. Tangan kirinya muncul lagi dari celah bawah sambil menggenggam korek api gas warna hijau yang tadi kuberikan padanya.
”Terima kasih,” ia berkata untuk yang kedua kalinya.
”Sama-sama.”
Gelombang hening berkeliaran di dalam toilet. Seseorang ada di sebelahku, dan entah mengapa aku merasa sedikit canggung dengan kehadirannya. Salah satu dari kita harus memulai percakapan, begitu pikirku. Dalam situasi sekarang, aku adalah tipe orang yang hanya bisa menunggu, walau bagaimanapun juga aku berusaha memikirkan kata-kata yang tepat untuk memulai sebuah pembicaraan yang dapat memecahkan keheningan yang mengganggu ini.
Aku hampir membuka mulut saat suara yang dingin itu datang, ”Kau sedang sibuk?”
”Maksudnya?”
”Apakah aku mengganggu kegiatanmu di sana?”
”Oh tidak. Aku hanya menghabiskan rokokku di sini.”
”Baguslah. Kita bisa sedikit mengobrol kalau begitu.”
”Boleh.”
Sedikit aneh, bahkan untuk orang sepertiku, untuk mengobrol dengan seseorang tak dikenal di dalam toilet yang wujudnya terhalang oleh tipisnya tembok pembatas. Sepertinya dia juga tidak melakukan apa-apa di ruangannya, hanya duduk-duduk sepertiku. Hanya duduk-duduk di atas kloset porselen warna putih yang keras.
”Apa yang akan kita bicarakan?” aku bertanya.
Ia diam tidak menjawab. Maka aku memulai dengan mengajukan pertanyaan yang paling mudah, ”Siapa Namamu?”
”Tidak perlu tahu nama saya,” serunya dengan cepat, ”lebih enak kalau kita tidak saling kenal nama masing-masing.” Dahiku berkerut.
Rokokku sudah setengahnya terbakar. Dari suaranya, aku menebak-nebak bahwa dia seorang anak lelaki seusia remaja, atau tepatnya seorang remaja tanggung. Dan kini kami berdua kembali diam dengan tenang.
”Jadi, apa yang barusan kau makan?” aku mencoba membuka percakapan lagi.
”Makan?”
”Ya. Asal kau tahu, aku berada di sini gara-gara udang bakar sialan yang disajikan dengan….mungkin ratusan cabe merah dan kerabatnya. Aku tak bisa menahan perutku yang melilit. Dahsyat sekali. Yang jelas perutku terbakar. Untung saja restoran ini juga punya toilet.”
”Oh. Restoran ini memang membuatku mual.”
”Restoran sinting. Aku tidak akan makan lagi di sini. Jangan-jangan kau juga makan udang bakar itu?”
Aku tidak yakin tapi sepertinya aku mendengar sekilas suaranya bergema mengucapkan ’Eeeee…’ yang panjang, seperti memikirkan jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Entahlah, aku bingung dengan orang ini. Tadi dia yang pertama mengajakku bicara, tapi sekarang dia kembali mengunci mulutnya rapat-rapat. Apa mungkin aku mengajukan pertanyaan yang salah? Atau bisa jadi dia ini adalah seorang yang pendiam dan malu-malu.
Kali ini aku tidak mencoba mengajaknya bicara. Aku memilih tenggelam dalam keheningan yang ia ciptakan. Detak jarum jam tanganku adalah satu-satunya suara yang kudengar. Lalat-lalat telah pergi entah kemana, aku merindukan suara bising sayap mereka. Aku menghirup dan menghembuskan asap rokok dengan keras, sengaja membuat sedikit keributan.
”Sup ayam,” tiba-tiba ia bicara, “satu-satunya makanan yang pernah kumakan di restoran ini adalah sup ayam. Dan memang rasanya agak pedas,”,suaranya sedikit serak kali ini.
”Tapi aku tidak alergi dengan pedas. Maksudku, alasanku ke sini bukan karena sakit perut atau apalah, cuma…,” jeda kembali terulang.
”Ingin bicara denganku kan?” Aku tak sabar menunggu.
Dia tertawa kecil, sedikit menyejukkan di telingaku.
”Yaa, bisa dibilang ini seperti sebuah ritual buatku. Hampir setiap malam aku datang ke sini, dan,” ia terkesan berhati-hati dalam menyusun setiap kalimatnya, ”semacam duduk-duduk di tempatmu berada sekarang. Menghabiskan sedikit waktuku.”
Biar kuanalisis sebentar. Anak ini datang ke toilet serba putih ini, tanpa suara, tanpa sepengetahuanku, dan tanpa basa-basi langsung mengajakku bicara seolah-olah aku ini temannya. Tanpa perkenalan, tanpa jabat tangan – kecuali dengan sebatang rokok dan korek api yang kuberikan padanya – dan tanpa nama sama sekali, aku tak tahu harus memanggilnya apa. Aku yakin bahwa ia masuk ke restoran ini tanpa memesan apapun, mungkin juga tanpa menoleh sedikitpun pada pelayan atau hanya sekedar duduk-duduk sebentar di kursi, melainkan langsung meluncur menuju toilet ini, mengunci diri di dalamnya dan melakukan ritual. Satu-satunya ritual yang kukenal yang pantas dilakukan di toilet adalah ritual yang baru saja kujalani beberapa menit yang lalu dengan susah payah. Inikah yang terjadi pada remaja jaman sekarang? Masuk ke restoran hanya untuk menikmati nyamannya kloset sambil mungkin berpikir tentang masa depannya?
”Kalau begitu kamu kenal dengan orang tak tahu malu yang mencoret-coret dinding di dalam sini?” Pertanyaan basa-basi. Aku tak peduli siapa yang melakukannya.
”Ya,” serunya dengan nada pelan, ”aku orangnya.”
Mulutku seperti ditampar. Kehebohan terjadi di dalam otakku untuk mencari kalimat yang tepat untuk menanggapi pernyataannya tadi. Bahkan asap rokokku ikut merasakan kalang-kabut. Lalat-lalat kembali berputar-putar di sekitar lampu dengan kesetanan.
”Wow! Bagus kalau begitu,” semoga ia tidak menangkap irama kepanikanku, ”maksud saya, untuk karya seni sebagus ini, sangat tak tahu malu apabila hanya dipajang di dinding WC yang jorok ini. Seharusnya kau bisa lebih menghargai seni dengan menaruhnya di tempat-tempat yang pantas, atau di tembok kota sekalian biar orang-orang bisa melihatnya.”
”Oh ya?”
”Tentu saja. Kamu pikir aku rela menghabiskan waktu lebih lama di dalam sini kalau bukan karena ingin menikmati coretan-coretan ini. Ada kekuatan sastra di dalamnya,” aku tak tahu apa yang sedang kukatakan.
”Oh ya?”
”Ya. Aku punya latar belakang seni dan aku tahu apa yang sedang kukatakan,” aku berbohong lagi. Latar belakang seniku adalah mencoret foto muka presiden di ruang kelas sekolah dasarku dulu. Tapi setidaknya setengah dari daya tarik corat-coret ini memang berhasil menarik perhatianku. Sepertinya aku telah berhasil membawa pembicaraan ini ke arah yang lebih baik.
”Ritual yang kumaksud adalah mencoret-coret dinding ruanganmu itu. Tak disangka ada juga orang seperti anda yang memperhatikannya.” Tentu saja, dengan coretan sebesar ini, sebanyak ini, siapa yang tidak akan memperhatikannya. Tanya saja lalat-lalat ini.
”Oh ya? Untuk apa?”
”Menurutmu?”
Menurutku karena kau adalah anak iseng yang tidak punya hal bermanfaat lain yang bisa dikerjakan selain menginap semalaman di dalam toilet ini, sama seperti kelakuan remaja aneh lainnya. Dilihat dari isi tulisan dan gambar-gambarnya - seperti seorang anak yang gantung diri, perempuan kerdil yang menangis, dan sebuah ledakan dengan gradasi warna merah yang indah - aku mengira bahwa dinding ini adalah bagian dari buku hariannya yang diisi oleh keluhan atau semacam curahan perasaan untuk seseorang yang bisa dibilang sangat kesepian. Persis seperti kesan yang kutangkap sebelumnya bahwa orang ini adalah seorang pendiam yang gemar memendam api dan membiarkannya menjalar di dalam hati. Barangkali hingga membusuk.
”Mmm…menurutku, ini adalah semacam cara anak muda jaman sekarang dalam mengekspresikan sesuatu, ya kan? Seperti coretan-coretan lain yang sering kulihat di tembok-tembok pinggir jalan. Hanya saja ini lebih…mmm…katakanlah, lebih kelam, lebih gelap, lebih menonjolkan sisi gelap manusia, lebih seperti perasaan kesepian, atau…yah tak tahulah…tapi kau telah menggambarkan perasaan-perasaan tersebut dengan baik, seakan-akan kau memang mengalaminya sendiri.”
Gemeretak tembakau yang terbakar terdengar nyaring dari tempat ia berada. Ia kembali mengatupkan mulutnya setelah mendengar pendapatku, mungkin sedang mengolah setiap kata yang ia dengar di suatu tempat di kepalanya. Rokok di tangan kananku mulai memendek dan aku mulai bosan berada di sini.
“Ya, aku memang…memang menuliskan semua yang kurasakan di sana,” serunya dengan nada yang semakin muram.
“Semua yang kurasakan hampir tiap hari,” ia memberikan penekanan dan menambahkan unsur melodramatis dalam kalimatnya.
Aku menolehkan mukaku ke arah biliknya.
“Remaja adalah tingkat paling rapuh dalam riwayat hidup manusia,” rasa simpati mulai merangkak keluar dari kepalaku, “tapi selama kau bisa memanfaatkannya dengan baik, kau bisa menemukan apa yang kaucari selama ini. Jangan terlalu disesali, kita adalah orang yang sama. Masa remajaku juga diisi oleh rasa kesal, seakan-akan tidak ada hal benar yang dapat dilihat oleh matamu di dunia ini. Namun semuanya akan berubah.”
“Entahlah, aku tak yakin, dan kita bukan orang yang sama. Aku hanya membenci semua hal dan ingin sekali berdiri di puncak bumi ini dan memarahi semua orang-orang yang pernah kukenal. Aku lelah ditertawakan. Aku bertaruh bahkan seorang Gandhi pun akan memiliki keinginan untuk membunuh bila ia tahu apa yang kurasakan.”
Kali ini aku yang terdiam. Orang seperti dia memang kadang sulit untuk ditebak, karenanya aku memilih untuk berhati-hati.
“Ya, kau benar. Kadang aku berpikir bila Gandhi diberi kesempatan kedua untuk hidup lagi, ia akan berubah menjadi seorang maniak yang mencintai perang. Aku pernah bermimpi sedang berkelahi dengan Gandhi dan itu membuatku senang.”
“Serius? Kau berkelahi dengan Gandhi? Siapa yang menang?”
“Aku lupa. Tapi aku membuat hidungnya berdarah.”
“Hebat. Seharusnya dia memang jadi ahli berkelahi. Atau mungkin saja saat ini, di akhirat ia mengajak para malaikat untuk bertarung dengannya sebagai kekesalan atas emosinya yang tak tersalurkan di dunia.”
”Ya mungkin saja. Bagiku itu cukup masuk akal. Itu yang akan kulakukan kalau menjadi Gandhi. Aku akan menghajar para malaikat.”
”Menurutmu siapa yang paling cocok untuk melawan Gandhi?”
”Mmm…siapa ya? Mmm…Adolf Hitler!”
”Brillian! Bayangkan bagaimana ia mencabuti kumisnya satu persatu,” ia setengah berteriak.
”Itu akan menjadi tontonan yang paling menarik di akhirat. Gandhi sang Gladiator mengalahkan Hitler si Pecundang!”
Kami berdua tertawa.
”Ide yang bagus. Kalimat itu akan kutulis di tembok malam ini.”
”Asalkan kau senang Kawan, aku tak keberatan.”
”Bukan begitu, alasannya adalah aku mengenal seseorang yang wajahnya mirip seperti Hitler, bahkan kelakuannyapun sangat kelewatan. Dia orang yang kubenci, selalu menuntutku untuk begini-begitu dan tak pernah sama sekali mendengarkan apa yang kumau. Aku hanya membayangkan si Hitler itu akhirnya dikalahkan oleh sosok Gandhi, orang yang selama ini tertindas oleh egonya.”
”Maksudmu kau yang menjadi Gandhi mengalahkan bapakmu si Hitler itu?”
Ia kembali membisu. Suara-suaranya yang tadi keluar seperti terhisap ke dalam lubang air di lantai basah. Keriangan yang menyeruak sekarang terpendam di dasar bumi. Aku tak berani mengucapkan apa-apa. Waktuku telah usai, rokok telah kubuang dan kuinjak, sekarang yang kuinginkan adalah pergi dari tempat ini dan mengucapkan salam perpisahan pada tamu tak terlihat ini.
”Bagaimana kau tahu kalau dia adalah ayahku?”
Suaranya terdengar pelan. Aku bermaksud untuk pura-pura tidak mendengar dan menyelinap keluar, tapi aku terdorong untuk mengakhiri perbincangan ini dengan baik.
”Eeee….tidak, aku….aku hanya menebak saja. Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu. Aku tidak bermaksud un…”
”Ah tidak apa-apa. Kau mau pergi?”
“Ya, aku harus…harus pulang.”
“Oke, tapi sebelumnya, maukah kau melihat tulisanku sekali lagi, dan memberitahuku kata-kata apa yang kausuka dari sana?”
“Mmm….dari tadi aku tertarik dengan tulisanmu yang berbunyi ‘Daripada cinta, uang, kepercayaan, popularitas, dan keadilan, lebih baik berikan aku kebenaran!’. Kalimat yang sangat provokatif.”
“Pilihan yang bagus, aku mengutipnya dari seorang penyair. Sekedar informasi, itu adalah kalimat pertama yang kucoret di dalam toilet ini.”
“Ya, aku menyukainya.”
“Oh ya, sebelum kau pergi, kira-kira berapa menit waktu yang kaubutuhkan untuk keluar dari restoran ini?”
“Maksudmu?”
“Ya, kau tahu maksudku.”
“Mmm…mungkin sekitar 5 menit.”
“Kuanggap itu 10 menit.” Tat tit tat teet toot tit tut. Dari dalam biliknya terdengar suara tombol-tombol yang ditekan, seperti suara yang timbul ketika aku menuliskan pesan singkat di handphone.
”Baiklah, aku pergi Kawan. Mungkin kita akan bertemu lagi suatu saat.” Aku mengetuk kepalan tangan kananku pada pintu biliknya dan pergi melenggang dari ruangan itu.
”Kau tahu di mana kau akan menemukan aku.”
***
Jam digital di mobilku menunjukkan pukul 21.12, tepat sekitar 10 menit dari saat aku meninggalkan toilet itu ketika dalam kegelapan malam yang beku, aku merasakan permukaan jalan bergerak-gerak seperti ada sesuatu sedang menjalar di dalamnya. Ini terlalu singkat untuk disebut gempa bumi, karena getaran tersebut hanya berlangsung kira-kira 2 detik dan disertai oleh suara berdebum yang memekakkan telinga.
Tanpa pikir panjang aku melompat keluar dari mobilku. Yang pertama terbesit adalah aku tak ingin terjebak di dalam mobilku dan segera berlari mencari tempat perlindungan yang aman. Suara riuh manusia berceceran memenuhi udara pengap ini. Diriku berada di ambang kepanikan dan terus memastikan diri bahwa aku masih berdiri memijak tanah. Aku menoleh ke belakang, asal muasal suara keras tersebut. Dan disitulah aku menatap pemandangan indah yang bersinar di kedua bola mataku yang menciut.
Restoran itu kini terbakar. Api dalam kobaran yang besar menari-nari dengan gemulai dan tak menghiraukan suara teriak yang menghampirinya. Asap hitam mengepul menjangkau bulan yang sedang terang benderang. Restoran telah menyatu dalam gradasi warna merah, oranye, dan kuning, menerangi sudut kota dengan kemegahan tak terucapkan. Mahkota emas sang raja yang berkilauan, pantulan sekumpulan bunga matahari yang berbaris di taman, wajah iblis sedang memancarkan senyum manisnya. Aku hanya terpana, diam tak bergerak.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk menerka bahwa bom telah meledakkan restoran udang bakar pedas itu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, dan rasanya aku hanya dapat membayangkan momen terakhirku di toilet itu dengan jelas. Hanya itu yang terus berdengung di pikiranku sekarang. Dan saat aku menengadahkan wajahku ke langit, aku seperti melihat sosok teman toilet misteriusku itu terbang lepas menuju angkasa sambil membawa kesendiriannya dalam keabadian.
”Selamat jalan. Semoga kau bertemu Gandhi di sana.”

Thursday, November 27, 2008

cerpen anak muda indonesia

Cupid
Juni 17th, 2008 by muth3
Ughhh.. jam enam tiga puluh! Tanpa pikir panjang lagi aku berlari ke kamar mandi. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kuguyur tubuhku. Kenapa alarm jelek itu tak berbunyi, umpatku kesal. Kuraih seragam putih abu-abuku, mematut diri dicermin sebentar dan ahkhhhh….. sepuluh menit lagi!
“Pagi Ma!” teriakku, mendekatinya dan mengecup pipinya.
“Nggak sarapan dulu, Do?”
Aku cuma menggeleng, berlari meninggalkan Mama yang hanya bisa geleng kepala melihatku pagi ini. Tak ada waktu lagi, dengan secepat yang kubisa aku berlari menusuri setak-setapak itu lagi. Akh… untung saja sekolahku tidak jauh yang paling tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki lima belas menit, yah kalo berlari kira-kira…., kulirik jam tanganku. OK masih ada waktu.
BUG! Tiba-tiba saja kurasakan badanku oleng dan aku terjerembab. Hah, pakaianku! Pekikku.
“Aduhhhhh!” suara itu mengejutkanku. Oh, rupanya aku menabrak sesuatu, tapi apa?
Kusapukan mataku ke seluruh tempat itu, tak ada siapa-siapa, aku mulai bergidik. Kecuali…, boneka kecil bersayap lucu. Dan boneka itu…, bergerak! Aku terpaku, beku. Kurasakan tubuhku mulai mendingin. Tidak, itu pasti hanya robot­-robotan kecil, yang seperti biasa memang bisa bergerak. Logikaku mulai berjalan, mencairkan suasana. Aku berusaha meraihnya, benar kan? Hanya boneka kecil. Kugenggam boneka kecil itu, menatapnya sesaat dan tiba-tiba saja matanya terbuka, spontan aku melemparkannya.
“Aduhhhh duhhhh! ! !” suara itu lagi. Boneka itu perlahan mengepakkan sayapnya.
“Kamu siapa?” suaranya lagi di tengah rintihannya.
“Aku tuh yang harusnya nanya kamu siapa?” aku melotot garang padanya, berharap di ujung sana akan datang seseorang yang menggerakkan robot mungil ini.
“Aku Cupid,” jawabnya, menggerakkan tangan mungilnya mengibaskan debu yang menempel di tubuhnya.
Wiuhhh lucu juga boneka ini, aku juga mau punya yang ginian. Ups, aku kan bukan anak kecil lagi.
“Cupid? Namamu lucu juga, kayak malaikat cinta itu!”
Uhggg, aku lupa, bukankah aku harus ke sekolah. Bergegas bangkit, meraih tasku.
“Yah iyalah, aku emang Cupid yang itu. Anaknya Dewi Venus. Emangnya Cupid ada berapa? Hmmm kalau kamu malaikat apa?”
Aku mengindahkannya, ingin segera meninggalkannya. Mana manusia di balik boneka kecil ini?
“Aku manusia!” aku beranjak meninggalkannya. Ahkk, aku harus mundur beberapa langkah saat sadari boneka kecil itu terbang melayang-layang tepat di hadapanku.
“Kamu… manusia?” mata kecilnya memandangku sangsi. “Tapi mengapa kau bisa melihatku?”
Orang yang mengendalikan boneka ini pasti mo ngerjain aku.
“Kali aja kamu udah dipecat jadi malaikat cinta,” perlahan kutepis boneka aneh itu, dia malah terbang di sampingku.
“Mungkin juga yah. Tapi nggak, nggak mungkin. Kamu betul-betul manusia?” dengan tan gan mungilnya dia memencet pipiku.
Aku melotot garang padanya. Aku meraihnya.
“Oi… manusia jelek yang ngendaliin nih boneka konyol, ayo keluarrr!”
Aku mulai geram. Mana sudah terlambat lagi.
“Kamu benar-benar manusia yah, tapi sumpah aku ini Cupid lho! Tapi kenapa yah kamu bisa lihat aku, seharusnya kan manusia tidak bisa melihatku,” boneka itu mengoceh di genggamanku. Betul-betul orang ini perlu diberi pelajaran.”Ato jangan jangan kamu cewek di ramalan itu. Iya aku ingat, karena kamu udah bisa liat aku jadi… hmmm… kamu nggak boleh jatuh cintai.”
WHAT? Apalagi ini. Kulemparkan boneka jelek itu jauh jauh. Berlari meninggalkannya. Ini mimpi? Pasti, atau aku lagi dikerjain orang dekat situ. IHHH! ! ! AAAHHH! Aku terlambat!
***
“Diandra Oktavia!!”
Kenapa harus dia Tuhan!! Aku cuma meringis. Perlahan berusaha menatap mata elangnya. Mati aku!
“Kau tahu ini jam berapa? Kenapa terlambat, HAH!” Dilepaskannya kacamatanya, memandangku dari bawah ke atas.
“Maaf Bu, tadi pagi saya kecelakaan. Nih!” melasku, sambil memperlihatkan sikuku yang memang sempat lecet karena boneka jelek itu.
“Sudah duduk sana!” perintahnya.
Aku menghela nafas lega. Tapi mata itu, mata itu memandangiku. Itu Fariz, malunya aku. Kenapa juga aku harus sekelas dengan cowok imut itu. Fariz. Dia alasanku bersemangat ke sekolah setiap harinya, bahkan dengan keadaan babak belur begini aku tetap nekat masuk hari ini. Aku mendesah lagi. Mengambil tempat duduk di samping Fitrah sahabatku. Dia memandangku lalu menyodorkan tissu, perlahan kuusap lukaku. Awas kau makhluk brengsek, kalau aku ketemu dalang sialan itu aku pasti akan menghajarnya.
Menit demi menit beranjak pergi, kelas ini begitu menyiksa. Siapa sih yang mengatur jadwal pelajaran? Mengapa meletakkan pelajaran Fisika di pagi hari sudah bikin ngantuk bikin lapar lagi! Iya juga aku belum sempat sarapan. Separuh nyawaku melayang, entah apa lagi yang digelar dipapan tulis, Bu Swasti masih asyik dengan teori ini-itunya. Sekarang apa yah. Hmm, hukum Keppler. Apa itu? Ahhh, aku menguap. Ups, jangan liat sini plis…. Tapi harapanku sia-sia. Tepat saat aku hendak mengatupkan mulutku dia berbalik ke arahku dan tertawa kecil kemudian tersenyum padaku. His smile so sweet.
Plek! Itu just dreamku. Nggak mungkinlah cowok sekaliber Fariz mo nengok-nengok ke bangkuku.
“Akhirnya kau kutemukan juga,” boneka kecil itu mengitariku. AHHH, pekikku. Berpasang- pasang mata menghujam padaku.
“Diandra!! Mau apa lagi kau?” suara bu Swasti mengisap semua nyawaku.
“Mo…mo..”
Fitra menatapku.
“Mo nanya Bu,” aku tersenyum semanis mungkin.
“Hmm ada yang kurang jelas yah. Tapi tidak perlu teriak kan!” matanya memplototiku garang.
“Apa pertanyaanmu?”
Oo, tanya apa? Aku kembali menatap Fitrah, juga mencari boneka kecil itu. Akh, ternyata boneka itu cuma khayalanku, toh dia tidak ada.
“Diandra! !”
“I..iya Bu, itu… hmmm..”
Aha! Aku punya pertanyaan cerdas, mungkin setelah mengajukan pertanyaan ini nilaiku di mata Fariz setidaknya naik setengah inci.
“Hmmm hukum Keppler itu ditemuin ma siapa Bu?” tanyaku polos, setengah tersenyum dan…., tawa pecah. Seisi ruangan itu menertawakanku.
“Yah jelas aja ma Keppler tahu!!! Kalau pun ditemuin ma kamu jadinya kan Hukum Diandra!” teriak Yadi, kembali tawa pecah. Akh, kini aku menyusut makin kecil.
“Diandra, setelah pelajaran usai, ikut Ibu ke BP!” Matilah aku.
“Anak-anak cukup!” Tawa reda.
“Sori, aku nggak bermaksud gangguin kamu,” suara di sebelahku.
“Kamu nggak ngenganggu kok, Fit,” aku berbalik ke arah sahabatku itu.
“Apa, Di?” dia menatapku aneh.
“Tadi kamu ngomong kan?” Dia menggeleng.
Oh, nggak yah, aku mungkin….
“Hei, ini aku.” Boneka itu berdiri di atas mejaku.
“Hah!” Aku memegang erat tangan Fitrah. Fitrah menatapku lagi.
“Kamu napa Di? Sakit yah?”
“Fit… itu!” tunjukku pada boneka jelek itu.
“Apa?” bisiknya.
“Percuma Diandra, dia nggak liat aku. Cuman kau yang bisa,” desis boneka itu.
Aku mulai ngeri. Ini?
“Apa maumu?” aku mulai berbisik padanya.
Fitrah makin menatap aneh padaku. Aku cuma tersenyum simpul padanya.
“Bantu aku mengerjakan tugasku.”
Kupejamkan mataku, berharap setelah membukanya semua kembali normal. Aku menghembuskan nafas satu-satu, menenangkan diri. Kubuka sebelah mataku. Dia masih disana. Aku menyerah.
Kringgg… kringgg..kringgg…
Bel itu berdentang juga akhirnya.
***“Apa kata Bu Swasti?” cecar Fitrah di kantin padaku.
Aku mengambil alih gelas jusnya, menyedotnya sebisaku. Fitra mendengus kesal menatapku.
“Yah, menurutmu apa yang akan dikatakannya?”
Dia mengangkat bahu.
“Tenang saja, untuk selanjutnya kamu nggak bakalan dimarahin lagi. Aku jamin deh,” boneka itu kembali melayang di hadapanku.
“Tapi ingat yah perjanjian kita. Kau harus mau.”
“Iya deh terserah!” teriakku.
“Terserah apa Di? Ih, hari ini kok kamu aneh gitu. Tadi pagi kamu nggak kesambet kan?” Fitrah meletakkan tangannya di dahiku. Aku menepisnya.
“Sudah akh, aku tidak mau mengingatnya.”
Sruttt… Kusedot jus itu sampai tuntas. Fitra memandangi gelas kosongmya, aku cuma nyengir.
“Ini, thanks.”
“Diandra! ” teriaknya. Aku segera berlari, bogem Fitra bisa bikin aku pegal­-pegal seminggu.
BUG! ! !
Oh, masa sih dalam sehari aku harus nubruk dua kali.
“Diandra. Sori kamu nggak papa?” sebuah tangan kekar mengulur lembut padaku.
Heh? Fariz. Aku meraihnya, dia menarikku berdiri.
“Kalau jalan tuh pake mata Non!” serunya ketus.
“Eh, dimana-mana tuh orang jalan pake kaki!” balasku tak kalah ketusnya.
“Salahmu kan kenapa juga pake lari-larian di koridor. Emangnya ini koridor nenek moyangmu apa!” bentaknya lagi.
UGHH, kayaknya aku harus berpikir ulang tentang Fariz. Kenapa cowok brengsek ini bisa-bisanya singgah di hatiku, padahal dia.. dia itu, entah mengapa selalu saja bersikap dingin padaku. Oh yah pada semua gadis. Dia pikir dia cakep apa? Yah iya, emang dia cakep.
“Bodo! ! !” teriakku, berlari menjauhinya.
***
“Hey Daindra, tugas pertama kamu menyatukan mereka berdua. Kamu harus membantuku menyatukan 12 pasangan selama sebulan penuh, lalu kutukanmu itu bisa hilang,” celetuk boneka kecil yang ngakunya bernama Cupid.
Aku mencibir padanya. Sekarang aku sudah bisa menerima makhluk aneh ini. Mungkin benar juga, ini kutukanku. Dan mulailah hariku, akhirnya selama ini jika kurasakan hariku hanya perulangan sejati kini sejak bertemu dengan Cupid hari-hariku menyenangkan. Banyak hal lucu yang terjadi, misalnya saja nih Anto yang seharusnya menurut Cupid harus disatukan dengan Mita, si cantik itu, eh malah salah nembak. Habisnya panah Cupid ternyata malah nyasar pada si gendut Dena. Saat kutanya mengapa, Cupid bilang itu sudah takdir.
“Di, menurut kamu Gatot itu suka nggak sama aku?” Fitrah memeluk bahuku sambil berbisik di telingaku.”Selama ini kan dia, dia itu ngasih perhatian ke aku. Cuman gitu deh Di, aku nggak yakin.”
“Gatot emang buat dia kok, Diandra.” Aku menatap makhluk mungil itu.
“Fit, tenang aja. Kalo dia emang buat kamu, nggak bakal ke mana deh,” ucapku menghiburnya.
Aku menatap jauh pada sekumpulan cowok yang sedang asyik dengan ceritanya. Beberapa kali mereka tertawa. Dan di sana juga ada dia. Ihhh, dia manis banget kalau tertawa lepas begitu. Kok denganku dia tidak pernah seperti itu. Salahku apa padanya? Seingatku, awalnya kami berdua cuma bertengkar karena perebutan lapangan basket. Yah itu pertamanya kami berdua ngotot-ngototan pertahanin lapangan. Tapi itu kan salahnya. Yang pertama main kan tim cewek, eh kok dia tiba-tiba datang mengklaim kalo tim cowok lebih berhak. Ih, sejak itu aku kesal ama dia, cowok sok kuasa, sok cakep, keganjenan tapi…, aku tetap suka!!! Nah lo kok!
Tiba-tiba saja, sretttt…, panah mungil mengarah ke sekumpulan cowok itu. Aku menatap Cupid yang tersenyum puas melihat dirinya kini tepat sasaran. Aku menaikkan jempolku padanya.
“Diandra, boleh minjem Fitrah nggak?” kini Gatot berdiri tepat di depan kami.
“Mau kau apakan temanku. Awas yah kau diapa-apain!” sinisku padanya.
“Ih, Diandra kamu galak banget sih. Fit, mau yah? Saya janji nggak bakalan macem-macem. Saya cuma mo ngomong penting ma kamu.”
Tanpa alasan lagi Fitrah mengangguk mengekor pada Gatot. Diikuti siulan panjang dari gerombolan cowok-cowok itu. Dan satu tatapan menghujamku…
***
“Diandra, aku sayang kamu. Semua nasehatmu emang benar,” Fitrah memelukku. “Aku jadian ma Gatot, Di,” ucapnya semangat.
Aku turut bahagia sobat! Karena cerita besar-besaran Fitrah tentang ramalanku, aku malah jadi penasehat cinta. Entah berapa banyak pasienku sejak promosi besar-besaran Fitrah.
“Di, gimana dong?” Sonia, cewek hitam manis itu meminta pendapatku.
“Yah, gimana yah Son, sebaiknya kamu calm down aja. Nggak usah nunjukin kalo kamu ada rasa ma dia,” dan Soniapun berlalu dariku.
Oh, kini nasehat cintaku manjur, ini juga berkat Cupid tentunya. Dia yang menunjukkan padaku pasangan masing-masing, dan aku sisa menyempurnakannya sedikit. Panah Cupid masih terus menancap di mana-mana. Yah ada beberapa sih yang tidak sesuai prediksi, sampai­ sampai ada yang menangis bombai di hadapanku. So, love is not only happiness but sometimes crying can be called love. Hebat kan aku! Bisa menasehati orang dengan teori cinta yang sebenarnya cuma kukutip dari beberapa novel dan komik koleksiku. Sementara aku? Jalinan cintaku selalu saja cuma sebatas hanya aku yang merasa. Inikah kutukan yang dimaksudkan Cupid?
“Diandra? Aku boleh ngomong nggak ma kamu?” Fariz mencegatku siang itu.
Deg! Darah berdesir ke seluruh arteriku. OK. Plis, jantungku jangan berdetak terlalu kencang.
“Apa?” ketusku.
“Udah deh, Di. Nggak usah galak-galak gitu. Makanya kamu nggak pernah punya cowok. Galaknya aja nyaingin anjing Herder!” Aku mempelototinya garang.
“Eh, jadi kamu nyegat aku cuman buat dimaki?” Aku melangkah pergi.
“Tunggu Di, aku perlu nasehat kamu,” kembali dia mencegatku, berdiri tepat di hadapanku.”Sori deh, tapi kali ini aku betul-betul perlu nasehat kamu!”
Kedua alisku kini bertaut.
“Menurut anak-anak kamu tuh jitu banget kalo dimintai pendapat soal hmmm… , maksudku ini soal cewek.”
Aku mundur selangkah. Oh No! Jadi Fariz udah punya incaran. Nggak, aku nggak mau denger sekarang.
“Di, nggak enak bicara disini. Ke kantin yuk. Aku traktir deh!” Aku terpaksa menurut, habisnya tas ranselku telah ditariknya kuat-kuat.
“Hmmm… gini,” disedotnya jus pesanannya, “aku udah lama naksir cewek.”
Byurrrrr…. Gimana rasanya. Jangan tanya lagi, aku sebentar lagi pasti pingsan.
“Tapi Di, aku ngak berani bilang ke dia. Takutnya nanti dia…..”
“Eh Riz, kamu itu cowok kan? Apa aku harus nyeret kamu di hadapan cewek itu. Kamu harus berani dong Riz, ato kamu mau dia diambil orang!” teriakku kesal.
“Di, cewek itu mungkin sebel banget ma aku. Masalahnya tiap ketemu dia, saking kekinya aku kadang malah ngajak dia berantem, Di. Di, cewek itu…. ”
Belum lagi sirna keterkejutanku atas pengakuan Fariz, kini satu anak panah emas Cupid telah melesat tapat mengenai dada Fariz. Aku…. Tidak ada harapan lagi. Aku bergegas pergi, mengindahkan seruan Fariz.
Kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Air mata yang tadi telah kutahan kini menganak sungai.
“Kamu jahat! ! ! !” bentakku pada Cupid. “Kamu tahu, dia itu cowok yang aku suka. Kenapa sih Pid, kamu nggak bantuin aku ngedapetin dia dengan kekuatan kamu! ! ! !” aku kembali berteriak padanya.
“Di, tapi kamu harus tahu kalo ini emang udah takdir nya Fariz. Dia emang daftar terakhir dari tugas kamu.”
“Emang nggak ada lagi yang lain Pid? Aku benci kamu!” pekikku lagi.
“Di, dengar! Aku cuma bantuin dia kok. Nggak selamanya panah itu berhasil. Panah itu cuman ngasih keberanian buat mereka yang jatuh cinta. Di, yang diperlukan adalah keberanian buat ngungkapin apa yang mereka rasa. Aku selama ini nggak ngejodohin mereka kok. Perasaan itu udah ada di hati mereka, sisa memberikannya keberanian. Cinta itu butuh keberanian Di. Begitu juga keberanian buat nerima kalau ternyata cinta yang kita harapkan bukan buat kita. Asalkan kamu harus yakin, sejauh apapun kamu melangkah cinta sejatimu pasti akan datang. Kamu nggak perlu bantuan aku untuk membuat orang jatuh cinta Di! Maaf Di, kalo ternyata aku buat kamu kecewa. Kamu teman terbaik,” ucapnya panjang lebar.
Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi. Yang jelas saking capeknya nangis aku tertidur. Saat terbangun aku tidak mendapati Cupid lagi.
***
Kubuka jendela kamarku. Menghirup udara pagi dalam-dalam. Mungkin apa yang dikatakan Cupid benar. Aku harus punya segudang keberanian, itu yang tak kupunya selama ini.
“Hmmm, anak Mama akhirnya bisa bangun pagi juga nih.”
Aku tersenyum padanya.Hari ini aku sudah bertekad untuk mendengarkan apapun kata Fariz.
“Hai, tumben nggak terlambat,” tepukan halus itu menghentikan langkahku.
“Riz!”
“Eh kenapa kamu kemarin? Aku kan belum selesai ngomong,” kini ia menjajari langkahku.
“Oh itu, sori Riz. Aku lupa kalau udah janji ma Mamaku buat pulang cepet,” bohongku. “Hmm, mo dilanjutin lagi?”
Dia mengganguk cepat. Jantungku, siaplah menerima semuanya. Dan kumohon berhentilah berdetak terlalu kencang.
“Di, kamu emang nyebelin yah.”
Huh, mulai deh. Tapi kenapa dia malah tersenyum. Ih, manis banget lagi.
“Eh, mo nyolot nih!” ucapku defense.
“Enggak. Maksudku kamu kan nggak usah ninggalin aku kayak orang bego!” protesnya sengit.
“Iya deh. Tadi kan udah bilang sori!”
Dia cuma cengir, menggaruk kepalanya kikuk. Hah, masa sih.
“Nasehatku masih kurang? Emang apa lagi yang kamu butuh dari aku?” cecarku lagi. “Kenapa kamu masih di sini, sana pergi! Temuin cewek itu!” aku mempercepat langkahku. Dia cuma meringis.
“Di.”
Ughh nih orang belum cukup apa? Aku berbalik.
“Mo ditemani? Ih kamu tuh cowok!” bentakku setengah kesal. Sudah banyak anak lain yang hilir mudik, beberapa orang malah menatap kami.
“Sana pergi!” seruku lagi.
“Ke mana?”
Eh dia kok malah nanya aku.
“Yah, ketempat cewek itu. Cepat sana!”
“Yeah, emang yang aku lakuin dari tadi apaan dong!”
WHAT! Dia malah senyam-senyum melihat reaksiku.
“Ternyata selain galak, kamu cerewet juga yah, Di.”
“Mau kamu apa?” aku makin kesal.
“Di, mo nanya lagi nih. Gimana cara nembak cewek yang benar?”
Aku berpikir sejenak. Hmm, gimana yah. Aku kan nggak pernah ditembak cowok. Nih orang maunya apa?
“Ha-ha-ha…, muka kamu ternyata lucu juga kalo lagi mikir! Udah ah, males ngomong ma kamu. Tulalitnya bikin gerah! Kamu itu nggak peka banget sih. Kamu maunya aku ngomong kayak gimana supaya otakmu itu bisa connect,” tandasnya, kemudian berlalu pergi.
“Heh, cowok nggak tahu diri. Udah dibantuin, nyolot lagi!” teriakku.
Dia malah berbalik dan tertawa.
“Woiii denger semua. Ada cowok yang naksir Diandra Oktavia!”
Semua terhenti. Orang-orang lalu lalang pun menghujamkan matanya pada kami berdua. Fariz berdiri menjauh dariku, memundurkan langkahnya lagi, dan lagi.
“Siapa yang naksir kamu, Di?” Fitrah kini berdiri di belakangku. “Riz, siapa yang naksir?”
Nah lho, kok pagi-pagi main teriak-teriak.
“Aku Fit!” teriaknya nggak kalah kencang.
Wajahku memerah. Sialan juga nih monyet. Aku melotot garang padanya. Dia malah balik memandangku. Aku berlari mengejarnya, ingin menghadiahinya bogem mentah.Well, thank’s Cupid…

Tuesday, November 25, 2008

Catatan Semusim Asa

Catatan Semusim Asa
by muth3

Lembar I
Hidup adalah suatu perjalanan panjang yang mengajak kita berputar di dalamnya, kemudian terjebak dan akhimya tersesat.
Matahari kembali menyapa dunia, aku menghirup nafas dalam-dalam. Akh pagi lagi. Aktivitasku berulang lagi, kukucek mata lebamku. Lebamnya bukan karena tonjokan siapapun, hanya sebuah ukiran malam yang tandai setiap jenuhku berkutat di telaga laporan.
Kuhempaskan selimutku, berlari cepat ke kamar mandi. Tak cukup sepuluh menit aku telah kembali ke kamarku, shalat subuh, memulai hari dengan mengingatNya.Kampus lagi. Kembali ke satu rimba yang tak tentu arah. Jejakkan kakiku di koridor panjangnya sambil memilin asa berharap dunia yang kuukir di sini sanggup antarkan aku ke suatu tempat terindah.Plek, tatapan mataku kembali tertumbuk pada satu sosok yang selama ini selalu menempati ruang khusus dalam labirin kehidupanku. Hanya seorang, seorang yang bertajuk Andri. Bagaimana ia tersangkut di dahan hidupku, bagaimana dia menginfeksi semua sel otakku, bagaimana dia menjajah tiap mimpiku, masih kupertanyakan hingga detik ini. Jangan tanyakan apakah aku mencinta, apakah aku hanya mengangumi, atau hanya sekedar asa yang akhirnya meranggas suatu saat, karena takkan ada jawab untuk itu. Ini hidupku, di dalamnya ada dia, temani jalan panjangku. Aku berputar di dalamnya, terjebak di satu kisah yang tak kunjung padam walau telah coba kupadamkan. Dan terakhir, aku tersesat di perasaanku sendiri. Satu rasa yang kurasa sendiri, satu asa yang kurangkum sendiri. Semua seorang diri, hanya bertepuk sebelah tangan.Pantaslah jika kuungkapkan bahwa hidupku adaiah suatu perjalanan panjang yang mengajakku berputar di satu rasaku, berputar mencari jawaban yang jelas telah kutahu jawabnya, kemudian aku terjebak dan akhimya tersesat. Tak sanggup temukan jaian pulang ke kewarasanku.
Lembar II
Manusia terbaik adalah mereka yang berguna bagi sesamanya.
“Thi, kok melamun lagi sih!” Rena menepuk punggungku. Aku terkejut, kemudian tersenyum menatap Rena yang rupanya sejak tadi memperhatikan tingkahku“Emang ndak ada kerjaan lain, selain ngangetin orang pagi-pagi gini!” protesku, bangkit dari dudukku, mengembalikan sebagian jiwaku yang masih mengapung.“Laporan kamu sudah kan, pinjem dong!” Aku hanya mengangguk, lalu kemudian mengeluarkan kertas yang membuatku lebam semalam.
Tanpa aba-aba lagi Rena berpindah ke tempat lebih nyaman untuk memindahkan sebagian atau seluruh isi kertas yang semalam telah menemaniku menghitung bintang. Aku tersenyum miris, tidak sombong sih, tidak angkuh atau apalah artinya. Yang jelas aku bersyukur pada Tuhan yang telah menginjeksi otakku semaksimal mungkin hingga walaupun harus melalui badai dalam bentuk 7 serangan lab seminggu sekalipun aku berhasil melaluinya mesti nyaris tak berbentuk. Jiwa dan ragaku tersita di lingkaran itu. Lingkaran yang menyita 24 jam sehariku, 7 hari semingguku bahkan kadang membuatku berharap waktu sejenak terhenti agar aku mampu menarik nafas. Ups, kenapa kesana yah? By the way, kukeluarkan komik, angin penyejuk jiwaku. Yah walau hanya fatamorgana semata.“Thi… a… akhi… hirnya ketemu juga!” Nanda merebut oksigen satu persatu, mengisi paru-parunya yang memang haus oksigen.“Napa kamu? Mo nyalin laporan? Tuh ada ma Rena!” Mataku kembali ke fatamorganaku. Masih dengan nafas tersengalnya, dia menggeleng. Kupandangi dia, plus kerutan di dahiku yang kalau ditranslatekan artinya `so apa dong yang kamu mau?’
“Aku mo curhat nih,” setelah berhasil menstabilkan nafasnya. Nanda mendudukkan tubuhnya tepat di sampingku. OK, tempat sampah terbuka 24 jam kok!
“Gimana neh, aku kok bingung gitu deh. Sebenarnya dia ada feeling nggak sih ke aku and bla… bia… bla…
Aku cuma mengangguk seperlunya, mendengarkan keluh kesahnya. Kalo mo dibilang neh, masalahku ndak ada bedanya ma dia, hanya rasa yang kurasa sendiri. Kalo mo ditarik garis lurusnya, girls tetap cewek. Masalahnya itu-itu saja. Aku jadi hafal jalan ceritanya.“Gimana dong, Thi?”
Gimana apanya, aku saja sampai detik ini berdetakpun tak tahu harus bagaimana agar rasa itu tidak kurasa sendiri. Karena praktek tak bisa terpaksa keluarkan teori yang kukutip dari sebuah novel. Fiksi memang, tapi kadang serangkaian kalimat dari sebuah fiksi sanggup jadi insipirasi walaupun 95 % kadang gagal.“Be your self, tunjukin diri kamu apa adanya!”
Dari novel mana yah kaiimat ini, saking banyaknya fiksi kadang aku merasa hidupku fiksi belaka. Eh, tiba-tiba senyum merekah di wajah Nanda. Nah lo, tadi bete banget, sekarang mentari bersinar lagi. Cuman karena satu kalimat sakti? Atau karena sudah buang “sampah” pada tempatnya? Whatever lah…
Lembar IIIDurian jatuh yah pasti di bawah pohonnya. Cinta jatuh, siapa yang tahu? Jangan tanyakan alasan mengapa aku jatuh cinta, jangan tanyakan batasan sebesar apa aku mencinta. Dan yang tak beralasan dan tak berbatasan itu akhirnya berujung tanpa balasan.
You wanna laugh? Silahkan. lni serius!!! Semua yang tak berbalas. Masih teringat jelas di memoriku saat kuikrarkan kalo `durian’ ku jatuh pada Andri. Bayangkan seberapa eksoftalmusnya mereka. Andri? Hanya seorang Andri. Bukan pangeran dengan kuda putihnya, bukan Mamoru, cowok komik kesayangannku. Pokoknya Andri dan pangeran impianku beda amat-amat pangkat tak berhingga jauhnya. Tapi jangan pernah tanyakan mengapa harus dia. Karena aku pun hendak bertanya. Tertawalah! Bahkan seorang Andri pun yang mereka anggap `tak ada apa-apanya’ dibandingkan pangeran impianku tak sanggup kuraih apalagi jika dia benar-benar seorang pangeran! Ini bisa digambarkan bagai itik buruk rupa berharap angsa! Yah ndak bisa lah! Beda banget!!!Forget it! Kata Sani aku bisa bertemu dengan orang yang lebih baik seribu pangkat tak berhingga kali dari Andri, tapi akankah durianku jatuh lagi? Aku tidak yakin, kucoba raba hatiku. Masih utuhkah?Di perjalanan waktu, ada lagi durian yang jatuh. Yani, dengan pangeran slankernya. Semua yang mendengarnya menjerit takjub, kaget atau sangsi. Entahnya, hanya mereka yang tahu makna jeritan itu. Pangeran slanker… Kalo mo dikata, dari kacamata dunia, he’s not. Nothing special lah! Tapi seperti dikatakan tadi yah, durian jatuh? Siapa peduli!! Tapi dari kacamata Yani, he’s someone special, he’s everything she wants! Beda Yani, beda Anna. Jangan lagi bertanya jika duriannya jatuh pada sosok yang hiasi mimpinya, seseorang yang kembali membuatku… (how to describe… hmmm… ) Brothernya. Bagi orang , sedikit spesial, antik, unik, klasik….. Tapi toh yang antik, unik dan klasik itu tetap menawan hati. The next person, Sani. Siapa yang sangka kalo brothernya itu….(its top secret) yang jelas buat aku tertawa. So, jangan tanyakan di mana jatuhnya cinta?
Lembar IV
Burung pipit lebih sehat jikalau terbang bebas di angkasa, mengarungi angkasa semaunya.
“Kenapa baru pulang sekarang? Ini udah jam 7 malam!” tegas Papa padaku.
Akh badan sudah letih abis, masih juga dipertanyakan kemana sayapku membawaku seharian ini. Haruskah kukatakan kalau sejak tadi aku berputar-putar di rimba kampus, memanjat tiap dahannya sambi! berharap dahannya tidak rapuh. Memangnya kemana lagi `bayi’ besarmu ini?“Yah, ini juga baru selesai lab,” jujurku. Ini emang jujur, amat sangat jujur. Walaupun aku emang pengarang yang rada-rada hebat. Sadarkah kalau habitatku memang hanya rumah ke rimba, rimba ke rumah dan seterusnya. Bahkan saking monotonnya aku sampai di titik kulminasi jenuh yang teramat sangat.Ugh, sampai kapan aku di sangkar emasku. Ups, ini bukan umpatan Tuhan, jangan memasukkannya ke hati. Malah aku amat sangat bersyukur telah dilahirkan di keluarga sempurna ini. Apapun inginku pasti kudapatkan, yah kecuali melebarkan sayapku dan terbang sesukaku. Di sangkar emasku, semua tersedia. Tak adalagi kata `lebarkan sayapmu’ gapai negeri jauh. Aku cuma katak dalam tempurung, seberapa jauhpun jiwaku ingin terbang membawa ragaku tetap ragaku terkunci disini. Yah mungkin di satu masa, akan ada seseorang yang meminjamkan sayapnya untukku agar sanggup kuarungi angkasa jauh.Lembar V
Aku ingin seperti dia, mungkinkah seperti dia adalah kebahagiaan? Apapun kau, siapapun kau, selalu ada cerita di labirin panjang, bahkan kadang lebih indah dibandingkan jika harus jadi dia. Kupandangi sosok itu lekat-lekat, cantik,manis, tajir, cerdas, pokoknya she’s everything the girls want!
“Hallo Miss, kamu ada di alam mana?” Iren membuyarkan lamunanku. Aku bahkan tertawa sendiri. Iren hanya mengernyitkan dahi. Mungkin dia pikir ambang kewarasanku benar-benar telah kulewati.“Ngapain kamu ketawa kayak gitu?”“Nggak kok, just… hmmm something, pikiran tolol nyangkut di otakku!”
Dia pun berlalu setelah mengambil beberapa catatan yang akan dicopynya untuk kelas hari ini. Berlalunya Iren, diikuti tatapan mata-mata iri. Apa kubilang, she everything people want! Terserah pokoknya people, mo wowen mo men kek, terserah!“Thi, ini tempat buat aku kan!” Desi mengempaskan tubuhnya di dekatku. Who’s she? Never mind. Aku cuma mengangguk. Mili tengah asyik membaca beberapa catatannya. Maklum sebentar lagi ujian tengah semester alias MID merangkak mendekati. Fuihhhh, belum lagi badai berhenti bergerak, Tsunami datang menghadang. Beberapa menit kemudian Iren telah kembali, mendudukkan tubuhnya di sebelah Mili (imagine by yourself, gimana aturan tempat duduk terserah imajinasi masing-masing) yang jelas siang ini posisi penyerangan telah diatur sempurna. Serangan bentuk apapun yang akan dilemparkan sang dosen siap kami hadapi. Yah iyalah, bentang pertahanan telah dibangun sekokoh mungkin.Waktu meniti kembali, dan selang lima menit kertas pertanyaan itu meluncur ke hadapan kami masing-masing. Pertempuran dimulai….
“Akh…. akhirnya!” Desi mendesah panjang“Welcome to the next battle!” aku bersuara.
Kami kembali tertawa. Benteng pertahanan kali ini sukses. Sisa menyisikan beberapa laporan, perulangan hari ini akan segera berakhir. Dan seperti biasa besok menanti perulangan berikutnya
“Thi, kamu jangan-jangan nge-pause waktu, biar kita-kita stop dan kamu jalan terus beresin serangan laporan berantai,” tatap Iren setengah tersenyum padaku.
“Iri banget lihat kamu,” lanjutnya lagi, “aku pingin kayak kamu.”
What wrong to the world!!! Beberapa jam yang lalu aku mo jadi dia, sekarang eh dia malah mau jadi aku. Kuakui, manage waktu aku bisa, walaupun akhirnya terlunta-lunta. Tapi sebisaku menyelesaikan semua dengan baik. Tapi ini rahasia, aku tidak pernah ingat apa yang sudah kutuliskan di tiap lembaran laporan itu, tidak sedikitpun. Tahukah kau? Aku bukan Thi yang sempurna yang kau lihat, aku bukan gadis cerdas, lincah, ceria atau apalah yang positif tentangku. Aku adalah kesalahan! Dan kau bilang kau iri pada `kesalahan’ ini! Nobody is perfect! Aku jadi tahu jawabannya mengapa di rimba kampusku, diantara jenuhku ada juga keindahan, kesempurnaan yang terbentuk dari sesuatu yang saling menyempurnakan. Sesuatu itu kusebut persahabatan…..
Lembar IVAku telah mencarinya di seribu tumpukan jerami, namun dia tetap tak berwujud. Kini aku menyerah, berhenti mencarinya. Menunggu di padang Sahara yang penuh fatamorgana mewujudkan nyatanya lewat abstrak tak tersentuh. Akankah penantian ini berujung? Inikah yang kucari? Inikah tujuan hidupku? Apa arti semua lembaran ini? Menyerah? Mungkin ini kata tepat untuk sosok itu. Aku sudah menyerah saat tahu hatinya telah membatu, dipahati penuh nama gadis terkasihnya. Nama yang takkan mungkin terhapus walau musim berganti.
Pencarianku terhenti, walau goresan itu cukup perih. Tapi kadang aku pun masih bertanya. Diakah yang kucari? Diakah yang kunanti? Atau hanya fatamorgana yang dinyatakan!Ini lembar terakhir dicatatan semusim asaku. Asa yang terakhir coba kuwujudkan. Aku…. Siapa aku? Pantaskah dicari? Pantaskah untuknya? Untuk dia yang telah diciptakan Tuhan untukku.Berubah? Aku sudah pernah coba berubah demi seorang Andri. Menjadi apa yang dia inginkan, menjadi seperti gadis terkasihnya, tapi hampa, kosong. Tidak ada reaksi sama sekali. Aku bukan apa-apa yang pantas untuk seorang pun!Aku sudah letih bertanya, mempertanyakan kehadirannya, memperdebatkan eksistensinya, memimpikan wujudnya. Mengukirnya di beberapa lembaran memfiksikan semua abstrak yang coba kusentuh. Nyatanya? Bahkan abstrak pun bukan untukku.Kini, di catatan akhir semusim asaku, kutuliskan asa untuknya. Untuk DIA yang diciptakan Tuhan untukku.
Menantimu bagai menghitung bintang di lautan angkasa. Temaram menemani saat mencoba menggapaimu. Akhimya sadari kau bukan untuk digapai, bukan untuk dicari, bukan untuk dinantikan penuh harap. Jangan berharap, katamu. Aku tak pernah bisa berhenti berharap, karena harapan ini yang wujudkan kau. Temani temaramku dalam menghitung gemintang. Aku sudah lelah berharap, telah jenuh berdiri di panasnya Sahara. Kapan kau datang? Kata orang, semakin aku berharap kau datang, kau takkan pemah datang. Jadi aku harus bagaimana?

Monday, November 24, 2008

Antara Cinta dan Sahabat

Antara Cinta dan Sahabat
Juli 18th, 2008 by fiyati utami

“Risaaa…. Kecilkan suaranya!!!” teriak Kak Dyo dari dalam kamarnya.
“Iya, iya,” jawab Risa dengan sedikit ketus.
Risa mengecilkan volume suara Astrid yang terdengar seperti erangan lagu yang menyakitkan.
Yup!!! Risa memang sedang sedih yang bercampur kesal dan mengerang di dalam hatinya.
“Teganya!!!” teriak Risa dalam hati dengan air mata yang tak dapat dibendungnya lagi.
Bayangkan saja, Ocha, Sahabat karibnya yang sudah lama begitu dekat, terlihat sedang asyik berduaan dengan Andi di depan sekolah tadi siang. Risa memang sangat menyukai Andi sejak awal mereka bertemu. Tinggi, tegap, tampan, dan pintar pula. Siapapun akan tertarik untuk lebih dekat dengannya. Termasuk Risa yang sudah lama menyimpan rapat perasaannya.
“Apakah selama ini Ocha tidak memperhatikan wajahku yang selalu merona jika melihat Andi lewat dihadapanku?? Atau Ocha memang tak peduli padaku??” Pertanyaan demi pertanyaan muncul di dalam otak Risa.
Awalnnya ia memang tidak pernah menduga semua ini, karena Ocha telah memiliki kekasih yang setahu Risa sebagai The only one love bagi sahabatnya itu. Tapi, begitu ia melihat kejadian yang terjadi sewaktu Risa pulang sekolah tadi. Oh..Entah kemana kesetiaan yang selama ini diagungkan oleh Ocha tarhadap kekasihnya.
Risa pun terlarut dengan kesedihannya itu hingga ia tertidur dan lupa mematikan tape recorder yang dari tadi mengalun lembut menemani kesendiriannya.

“Ris..Risa!! Kamu dari mana aja sich?? Aku cariin kamu kemana-mana,” tanya Ocha pada sahabatnya itu di depan kelas.
“Emang gue biasanya kemana kalo pagi-pagi begini?? Ya ke kantinlah buat sarapan!!!” jawab Risa dengan ketus dan membuat kaget sahabatnya itu.
“Kamu kenapa? Kok kayaknya aneh banget??” Ocha keheranan.
Tanpa basa-basi keluarlah kata-kata yang penuh makna dari mulut Risa kapada sahabatnya itu.
“Cinta kadang menyakitkan bila tanpa kesetiaan dan cinta kadang sangat melelahkan bila tanpa kesetiaan.” Dengan wajah cueknya Risa berlalu dari hadapan Ocha yang masih terdiam kebingungan akan ucapan sahabatnya tadi.
Dan selama jam pelajaran hingga waktunya pulang, mereka tidak saling bicara. Risa dengan seribu diamnya yang menyimpan sesak di dada dan Ocha yang masih tak mengerti, memilih diam tanpa komentar apapun.

Sambil menunggu taksi yang datang, Risa duduk di taman depan sekolahnya. Namun, pikirannya terus melayang dan tak berhenti memikirkan Andi. Sebenarnya Andi dan Risa pernah dekat. Mereka sering saling sapa hingga telpon-telponan hampir tiap malam. Tapi, entah mengapa atau mungkin Andi maupun Risa sama-sama memiliki kesibukan yang sangat padat. Hingga mereka lupa untuk saling bertanya kabar. Begitu classmeeting tiba, barulah Risa mulai mencari-cari kepingan hatinya itu lagi. Dan selanjutnya, tiba-tiba Ia melihat Ocha dan Andi saling canda di depan sekolah dengan akrabnya. Jelas saja Risa naik pitam. Setahu Risa, Sahabatnya itu tidak pernah mengenal Andi dengan akrab. Tapi, mengapa???
“Aku memang cemburu!!! Terus kenapa??” Bisik dalam hati Risa.
Risa tertunduk, menangis di atas kasurnya dan kecewa kepada sahabat karibnya. Tiba-tiba, Ia menemukan sebuah buku merah yang terdapat di bawah bantalnya. Ternyata, buku itu tertulis nama Kak Dyo. Dan judulnya cukup menarik Risa yang sedang gundah gulana. “Seberapa Pantas Dia Untukku??” Dengan judul itu dapat menggelitik Risa untuk membukanya. Selembar demi selembar terlewati. Wajahnya yang tadi pucat dan lesu, kini mulai memudar. Ternyata, isi buku menjelaskan tentang kekuatan hati untuk menahan segala rasa yang sebenarnya hanya membuang waktu.
“Aku memang suka, tapi entah ini cinta?” pikirnya dalam hati.
“Cemburu?? Itu normal kan???” tanyanya lagi dalam hati.
“Ocha sahabatku?? Dari dulu memang begitu kan???” batinnya terus bertanya sekaligus memikirkan nasib cinta dan sahabatnya.
Ditutupnya buku merah itu. Dalam hatinya, Ia tahu bahwa isi buku itu memberinya sebuah pemikiran, kalau perasaannya pada Andi dan rasa marahnya pada sahabatnya, Ocha, hanya membuang waktunya saja. Sesuatu yang belum jelas, malah menjadi hal yang terus dipikirkannya dari tadi.
Aku bukannya mengalah
Aku tidak menyerah
Aku punya rasa, punya cinta
Aku merasa bahagia
Bukannya Aku ingin lupakan semua cerita
Tapi, cukup sudah!!!
Aku tak mau tersesat tanpamu
Sahabatku…
Aku akan biarkan ini mengalir
Hingga noda menghilang dari hatiku
Maafkan Aku, wahai sahabatku..
Yang sudah mengacuhkanmu karena cemburuku.
Dilipatnya secarik puisi yang telah ditulisnya tadi. Dan berharap Ocha, sahabat karibnya akan mengerti apa yang telah terjadi. Dan berjanji dalam hatinya untuk menjelaskan semua kata-katanya yang pernah ditujukannya kepada sehabatnya itu besok dan mulai berjalan lagi tanpa ada rasa yang mencoba mempermainkan kesetiaannya akan sebuah persahabatan yang sangat dijunjungnya itu.
“Maafkankan aku wahai Sahabatku,” kata maaf itu mengalir bersama dengan senyuman yang tenang di wajah Risa.

Sunday, November 23, 2008

Aku, Sahabatku, dan Teka-Teki Cinta

Aku, Sahabatku, dan Teka-Teki Cinta
Desember 7th, 2006 by nietha

Sepasang mata yang terpejam, mulut yang terkatup dan sebuah hati yang tertutup
Masih bisa merasakan cinta
Satu cinta yang menuntut syarat untuk diungkapkan
Karna cinta tak bersyarat
Jika cinta bersyarat berarti tak berbeda denga perjanjian
Padahal cinta bukanlah perjanjian
Cinta adalah keterkaitan raga menjadi satu hati walau
Tak ada satupun jiwa yang tahu
Walau tak bisa dua jiwa bersatu tapi raganya akan selalu menumbuhkan cinta dan memancarkannya pada tubuh bintang di malam hari dan bila esok tiba akan tebarur bersama sinar mentari.
“Raka itu spesial banget lho Sa, Romantis, perhatian, setia, dan yang lebih penting dia nerima aku apa adanya.”curhat Lila sahabatku saat kami masih duduk di bangku SMP, waktu itu aku “Vesalia Indah Ratnaningrum” terkagum-kagum pada pacar sahabatku itu.
“Dasar pembohong, ngakunya setia ternyata ada maen dengan anak sekolah laen, pantesan akhir-akhir ini Raka gak perhatian, gak romantis, dan selalu ngatur soal penampilanku.”curhat Lila saat Raka mutusin dia dan berpaling pada cewek laen, lagi-lagi aku “Vesalia Indah Ratnanigrum” bingung mendengar cerita sahabatku itu. Dan setelah itu Lila sahabatku membuka buku diarynya dan menuliska sebuah puisi tapi bagiku lebih dari sebuah puisi melainkan sebuah nasehat bagi cewek yang masih awam mengenal cinta seperti aku.
Cinta menerbangkan aku jauh ke langit
Kulihat indah,sejuk,dan damai
Saat kau mengandengku melintasi langit
Tapi kenapa cinta terlalu jauh menerbangkanku
Hingga mataku gelap tak melihat apa-apa
Hanya sakit yang aku rasakan saat aku tahu
Aku Terjatuh
Pertama kali masuk SMU, guruku mengatakan kalau kami harus hati-hati duduk dibangku SMU ini, cepat atau lambat kami akan dihadapkan berbagai masalah,entah itu masalah pelajaran di sekolah, persahabatan, ataupun cinta. Aku takut mendengarnya dan aku takut menghadapi masa-masa ini, tapi lain dengan Lila sahabatku, yach…..kami memang berbeda.
“ Vesa, aku puya gebetan baru,dia istimewa.”
“ Kamu kagum atau jatuh cinta sama dia”
“ Kayaknya….cinta”
Kaget juga ndenger cerita Lila padahal baru kemaren dia ngomong ke aku :
Cinta itu nyebelin, bikin sakit, bikin ruyem,kadangmembuat kita terbuai hingga berbunga-bunga tapi gak sedikit yang bikin kita kecewa dan putus asa.
“Kenapa kamu bisa jatuh cinta padanya”
“Karna dia itu cakep,pinter,jago maen basket,ketua OSIS dan punya karisma”
“Berarti kalau misalnya Dia kecelakaan, terus ingatannya terganggu dan kakinya patah dan gak bias maen basket, terus otomatis dia gak bisa jadi ketua OSIS lagidan karisma yang dia punya ilang. Apa kamu masih mencintai dia ?
Lila Terdiam, menatapku tajam tapi juga penuh curiga, sejenak ia tampak berpikir
“ Vesa, kamu tuch gak ngerti, karna kamu gak mau ngertiin soal cinta, kamu gak mau cari tahu apa itu cinta.”
“ Buat apa aku mencari cinta, toh cinta ada di belakangku bersama bayanganku, kalau aku kejar dia malah lari tapi kalau aku diem dia malah ngikutn aku.”
Aku terus nencari apa sebenarnya makna dibalik 5 huruf itu. Ya….. C-I-N-T-A, secara sengaja atau gak aku sengaja aku terus mencarinya. Lama aku diperpustakaan sekolah hingga aku temukan karya Kahlil Gibran berjudul “Risalah Cinta” kubuka lembar demi lembar dan ada sebuah kata yang sampai saat ini aku ingat.
Ada 3 tingkatan cinta:
Pertama, Cinta karna pemberian
Jika ada seseorang yang mencintai orang lain karna pemberian, yang demikian itu adalah cintanya anak kecil.
Kedua, Cinta Karna memang kekasihnya itu memiliki kemampuan yang hebatdan pantas dicintai
Yang demikian itu adalah cinta monyet, cintanya anak SMA-SMP .
Ketiga, Cinat Abadi
Adalah ketika seseorang menanyakan pada Anda :Mengapa anda mencintainya?.Anda menjawab: Saya tidak tahu kenapa saya mencintainya.
“Vesa, aku udah jadian sama Reno”
“Bukannya kamu naksir sama Si Ketua OSIS itu ‘
“Ternyata itu bukan cinta”
“Lalu kenapa kamu mencintai Reno”
“Entahlah aku tak tahu”
Ada rasa senang saat mendengar jawaban sahabatku itu, setidak-tidaknyadia telah menemukan cinta abadinya walau dia tak menyadarinya.
Aku ‘Vesalia Indah Ratnaningrum” masih tak tahu apa itu cinta.Semakin banyak aku tahu arti cinta semakin aku tak mengetahui apa itu cinta.
Cinta itu anugerah terindah
Cinta itu adalah pengorbanan
Cinta itu adalah rasa hati
Semuanya benar
Cinta itu anugerah terindah yang dirasa oleh hati.
Dan harus ada pengorbanan
Tapi bagiku…..
Cinta adalah teka-teki
Tergantung siapa yang menjawabnya
Semua akan merasa benar mendiskripsikannya
Karna cinta itu…….
Sebuah teka-teki yang berisi cinta
Seperti Aku, Sahabatku, dan Teka-Teki Cinta

A Walk to Remember of Legian

A Walk to Remember of Legian
Juni 26th, 2008 by yohanarossi

Malam pekat terbentang di langit Legian. Endirastomo melangkahkan kakinya menyusuri deretan tempat hiburan yang ramai dan penuh sesak. Ingin sekali rasanya membaur bersama mereka disana, menikmati musik yang berdentam di dalam kafe ataupun sekedar mengepulkan asap rokok yang sejak tadi dihirupnya. Tapi hatinya tak bisa menepiskan sedikitpun bayang-bayang Cinderella, gadis yang baru 2 jam lalu memutuskannya. Endirastomo tidak habis pikir kenapa Cinderella memutuskannya. Dia mendengar gosip kalau mantannya itu lagi naksir sama Dandy, kakak kelasnya waktu SMU. Mungkin hanya sekedar gosip tapi dia mendengarnya sendiri dari Mamat, kawan akrabnya.
“Hoiii, Tommy, ngapain disitu?” Endirastomo menoleh cepat. Ternyata Mamat. Cowok itu memarkir Lancernya di samping Endirastomo.
“Lagi jalan! Sori ya aku lagi buru-buru nih?” Endirastomo terus berjalan tanpa menghiraukan Mamat. Mamat terus memanggil namanya sampai dia membelok kearah Paddy’s Café. Endirastomo menyumpah dalam hati.
Suasana masih tetap sama. Orang-orang berlalu lalang di sepanjang jalan. Lampu-lampu bersinar membutakan matanya saat melewati Paddy’s Café. Tak ada yang ingin dilakukannya kecuali pulang dan berendam, seandainya bisa melenyapkan nama Cinderrela dari benaknya barang sedetik saja. Cinderella adalah cinta pertama. Walau Endirastomo tidak mengerti definisi cinta, tapi dia yakin kalau Cinderella-lah yang dicintainya. Gadis itu adalah gadis tercantik yang pernah dia temui, mungkin juga karena dia belum bertemu Dian Sastro. Endirastomo merasa sangat jatuh cinta pada Cinderella.
Endirastomo berjalan menuju tempat parkir di sepanjang jalan di depan tempat hiburan dan meraih setang Touch-nya. Motor kesayangannya itu melaju kencang menyusuri jalan di sepanjang Kuta yang ramai. Endirastomo mengerem motornya saat jalan mulai macet berat. Kembali dia menyumpah dalam hati.
Duerrrr dar der dorrr. Endirastomo hampir terloncat dari motornya mendengar ledakan itu. Jalan bergetar. Gempa bumi, pikirnya khawatir. Orang-orang berteriak panik. Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Ternyata si Mamat.
“Tom, ancurrrrrrrrrr deh mobilku. Disini kayak perang…hiiiiiii ada bom meledak, teroris kali. Tom kamu dimana? Aku masih hidup lho. Aku ada di sekitar kafe. Mobilku kan tak parkir depan Paddy’s Café sekarang udah jadi helikopter, tau terbang kemana? Tom jemput aku dong!” Endirastomo panik.
“Oke. Tunggu ya jangan panik.”
Endirastomo berbalik arah menuju ke arah ledakan. Kepalanya terus muncul berbagai dugaan tentang ledakan itu. Ataukah kembang api meledak.
Endirastomo menghela nafas. Tempat-tempat hiburan yang baru beberapa detik ditinggalkannya sudah menjadi rata dengan tanah. Bau asap dan abu menyesakkan nafasnya. Tim SAR mulai mengevakuasi korban dan petugas pemadam kebakaran masih memadamkan api yang menjalar kemana-mana. Endirastomo hanya terpaku. Orang-orang berlarian di sekitarnya. Jerit tangis dimana-mana. Pandangannya tertuju pada seorang gadis yang tengah sibuk diantara puing-puing bangunan yang terbakar. Mungkin sukarelawan yang ikut membantu tim penyelamat. Tanpa sadar Endirastomo turun dari Touch-nya dan menghampiri gadis itu.
“Hai sedang apa?” Endirastomo menyapa. Gadis itu menoleh sehingga Endirastomo dapat melihat air matanya. Tangan gadis itu kotor oleh abu tapi dia tetap mengaduk-aduk reruntuhan tembok yang hancur lebur. Endirastomo berjongkok di sampingnya.
“I was looking for my cat,” kata gadis itu. Endirastomo serasa disamber geledek. Wah bule, batinnya, aku nggak bisa Bahasa Inggris nih.
“Oke. Oke Your what? Anu, where?….eh..ngawur,” Endirastomo menggaruk kepalanya. Beberapa ketombenya rontok di bajunya yang hitam. Untung malam jadi nggak kelihatan.
“Kucingku tadi berjalan di belakangku dan setelah ledakan terjadi dia langsung menghilang begitu saja,“ keluh gadis itu panik dengan Bahasa Indonesia yang fasih. Oalah cuma kucing to, batin Endirastomo.
“Eh kenalan dong, aku Tommy,” Endirastomo mengulurkan tangannya. Gadis itu acuh dan sama sekali tidak memandangnya. Endirastomo merasa inilah gadis tercantik yang pernah ditemuinya. Hidungnya mancung, kulitnya seperti kapas, dan rambutnya seperti rambut jagung yang ditanam di ladang.
“Aphrodite McKenzie. Panggil aja Aphro,” jawab gadis itu pendek. Wah cakep bener namanya kayak kucingnya eh orangnya, pikir Endirastomo.
“Kamu turis apa menetap disini?” tanya Endirastomo penasaran setengah mati.
“Ngomong-ngomong aku mesti pergi nih sekarang. Udah dulu ya.” Aphro mulai berjalan meninggalkam Endirastomo.
“Tunggu, aku anter ya?” seru Endirastomo membuntuti gadis itu. Pahro berhenti. Gadis itu memandang Endirastomo lekat-lekat. Tatapannya serasa membekukan sekujur tubuh Endirastomo.
“Kalau nggak mau ya sudah. Kita bisa ketemu lagi kan?” tanya Endirastomo penuh harap. Aphro tersenyum hangat.
“Tentu tapi kupikir kau nggak akan terlalu suka.” Aphro mendorong tubuh Endirastomo. Cowok itu hampir terjengkang ke dalam selokan.
“Hard Rock jam sepuluh besok,” teriak Endirastomo. Endirastomo melonjak kaget saat intro Lose Yourself-nya Eminem mengalun kencang dari HP-nya. Ternyata si Mamat.
“Sori Mat, tunggu bentar ya?” Endirastomo langsung ngabur ke arah Touch-nya.
#
Endirastomo bangun jam lima pagi lalu mandi selama sejam biar wangi. Lalu dipakainya kargo brown kesayangannya dan sweatshirt Billabong yang dibelikan maminya di Jogja. Endirastomo berlari tergesa-gesa kearah Touch birunya. Stiker SUM 41 menempel sangar di body Touch-nya. Endirastomo menyambar helm dengan stiker SLIPKNOT dengan kasar lalu melarikan motornya kencang. Di perempatan dia hampir ngembat tiang listrik dan dua gardu polisi. Tapi nggak sampai ditilang soalnya keburu kabur. Dengan penuh percaya diri dia menunggu di depan Hard Rock Café sejak jam tujuh kurang bahkan sebelum Hard Rock buka. Sempat juga digodain sama waitress yang cantik.
Sejam…dua jam….tiga jam..Endirastomo menunggu Aphro di pojok café. Bahkan dia sudah sepuluh kali pesan minuman. Akhirnya yang ditunggu pun datang. Dengan senyum manisnya, Aphro melambaikan tangan. Endirastomo membalas. Aphro mirip sekali dengan Natalie Portman siang itu. Rambutnya yang merah tembaga panjang terurai sampai punggungnya. Endirastomo terpesona. Gile, ni cewek cakep bener, mesen dimana ya? Endirastomo membatin.
“Hai, sudah lama?” Aphro duduk di seberang Endirastomo.
“Belum, belum setahun.” Aphro tertawa. Akhirnya mereka mulai ngobrol seru. Dari masalah ledakan di Legian tadi malam sampai masalah baju favorit.
“Jadi besok bisa ketemu lagi?” tanya Endirastomo penuh harap. Aphro tersenyum. Hanya tersenyum. Endirastomo masih memandangi gadis itu hingga menghilang diantara orang-orang yang berjalan keluar masuk kafe. Endirastomo kembali duduk dan menyeruput coffee shake untuk yang kesekian kalinya.
“Tom, ngapain nongkrong sendirian?” Endirastomo menoleh. Ternyata Mamat. Dengan agak kesal Endirastomo memandanginya.
“Gila, tampangmu sadis amat. Kayak abis ditinggal pacar…oops sori. Kamu masih bete ya ditinggal Cindy?” Mamat ikut menyeruput coffee shake Endirastomo.
“Eeeh pesen sendiri dong, maunya gratisan aja,” kata Endirastomo sewot. Sementara lagu “Andai”-nya Gigi mengalun perlahan membawa suasana siang yang semakin panas, Endirastomo mulai berpikir, bisa nggak ya jadian sama Aphro. Paling enggak sampe tu bule balik ke Sydney.
#
Day after day, time passed away………, lagunya WL, kayak gitu untuk nggambarin hari-harinya Endirastomo. Dimana ada dia disitu ada Aphro, paling nggak mereka udah temenan lebih dari dua minggu sejak ledakan di Legian. Dan itu pula yang mengganggu pikiran Endirastomo, cuma satu pertanyaan, kapan mereka bisa jadian. Si Aphro sendiri kayaknya nggak ambil pusing, dia sibuk jadi sukarelawan untuk membantu korban di Legian. Endirastomo pun tak mau kalah, dia jadi penyelamat dompet korban.
Akhirnya suatu saat, saat sunset di pantai Kuta. Langit berwarna jingga, matahari mulai merangkak ke ufuk barat. Suasana pantai sepi. Mereka berdua, Endirastomo dan Aphro, berdiri memandang lurus ke cakrawala. Endirastomo merasakan pasir menyusup di sela kakinya yang terbenam air laut.
“Kapan kamu kembali ke Sydney?” Endirastomo berdoa dalam hati berharap Aphro menjawab akan kembali kesana seratus tahun lagi.
“Aku nggak tahu. Kalau urusanku udah selesai, mungkin. Kenapa?” Endirastomo menggaruk kepalanya, sesuai kebiasaanya saat SMP pas pelajaran Matik.
“Kamu pernah dengar lagunya NSYNC yang “Girlfriend” itu?” tanya Endirastomo. Aphro mengangguk.
“Gimana kalau bukan NSYNC yang nyanyi tapi aku?” Endirastomo langsung nembak.
“Ya nggak papa, paling kasetnya nggak laku.” Rasanya Endirastomo pingin tenggelam ke dalam pasir. Malu abis.
“Maksudku…aku…”
“Oke aku ngerti kok. Tapi kamu pingin jawaban yang jujur kan?” Mati aku, batin Endirastomo. Dia sudah ngerasa seratus persen ditolak.
“Kamu sama sekali nggak tahu soal aku. Aku akan bilang sekarang.”
“Jangan. Aku tahu kok kamu udah punya cowok. Nggak papa asal jangan sama si Mamat aja. Bener kok.” Aphro tertawa.
“Kamu ingat saat dua minggu lalu kita ketemu. Aku bukannya nyari kucingku, tapi aku nyari mayatku.” Endirastomo memandang Aphro tak percaya.
“Kamu bisa lihat namaku di daftar mayat yang berhasil diidentifikasi.”
Brukkkkkkkkk. Endirastomo jatuh pingsan.