Tuesday, November 25, 2008

Catatan Semusim Asa

Catatan Semusim Asa
by muth3

Lembar I
Hidup adalah suatu perjalanan panjang yang mengajak kita berputar di dalamnya, kemudian terjebak dan akhimya tersesat.
Matahari kembali menyapa dunia, aku menghirup nafas dalam-dalam. Akh pagi lagi. Aktivitasku berulang lagi, kukucek mata lebamku. Lebamnya bukan karena tonjokan siapapun, hanya sebuah ukiran malam yang tandai setiap jenuhku berkutat di telaga laporan.
Kuhempaskan selimutku, berlari cepat ke kamar mandi. Tak cukup sepuluh menit aku telah kembali ke kamarku, shalat subuh, memulai hari dengan mengingatNya.Kampus lagi. Kembali ke satu rimba yang tak tentu arah. Jejakkan kakiku di koridor panjangnya sambil memilin asa berharap dunia yang kuukir di sini sanggup antarkan aku ke suatu tempat terindah.Plek, tatapan mataku kembali tertumbuk pada satu sosok yang selama ini selalu menempati ruang khusus dalam labirin kehidupanku. Hanya seorang, seorang yang bertajuk Andri. Bagaimana ia tersangkut di dahan hidupku, bagaimana dia menginfeksi semua sel otakku, bagaimana dia menjajah tiap mimpiku, masih kupertanyakan hingga detik ini. Jangan tanyakan apakah aku mencinta, apakah aku hanya mengangumi, atau hanya sekedar asa yang akhirnya meranggas suatu saat, karena takkan ada jawab untuk itu. Ini hidupku, di dalamnya ada dia, temani jalan panjangku. Aku berputar di dalamnya, terjebak di satu kisah yang tak kunjung padam walau telah coba kupadamkan. Dan terakhir, aku tersesat di perasaanku sendiri. Satu rasa yang kurasa sendiri, satu asa yang kurangkum sendiri. Semua seorang diri, hanya bertepuk sebelah tangan.Pantaslah jika kuungkapkan bahwa hidupku adaiah suatu perjalanan panjang yang mengajakku berputar di satu rasaku, berputar mencari jawaban yang jelas telah kutahu jawabnya, kemudian aku terjebak dan akhimya tersesat. Tak sanggup temukan jaian pulang ke kewarasanku.
Lembar II
Manusia terbaik adalah mereka yang berguna bagi sesamanya.
“Thi, kok melamun lagi sih!” Rena menepuk punggungku. Aku terkejut, kemudian tersenyum menatap Rena yang rupanya sejak tadi memperhatikan tingkahku“Emang ndak ada kerjaan lain, selain ngangetin orang pagi-pagi gini!” protesku, bangkit dari dudukku, mengembalikan sebagian jiwaku yang masih mengapung.“Laporan kamu sudah kan, pinjem dong!” Aku hanya mengangguk, lalu kemudian mengeluarkan kertas yang membuatku lebam semalam.
Tanpa aba-aba lagi Rena berpindah ke tempat lebih nyaman untuk memindahkan sebagian atau seluruh isi kertas yang semalam telah menemaniku menghitung bintang. Aku tersenyum miris, tidak sombong sih, tidak angkuh atau apalah artinya. Yang jelas aku bersyukur pada Tuhan yang telah menginjeksi otakku semaksimal mungkin hingga walaupun harus melalui badai dalam bentuk 7 serangan lab seminggu sekalipun aku berhasil melaluinya mesti nyaris tak berbentuk. Jiwa dan ragaku tersita di lingkaran itu. Lingkaran yang menyita 24 jam sehariku, 7 hari semingguku bahkan kadang membuatku berharap waktu sejenak terhenti agar aku mampu menarik nafas. Ups, kenapa kesana yah? By the way, kukeluarkan komik, angin penyejuk jiwaku. Yah walau hanya fatamorgana semata.“Thi… a… akhi… hirnya ketemu juga!” Nanda merebut oksigen satu persatu, mengisi paru-parunya yang memang haus oksigen.“Napa kamu? Mo nyalin laporan? Tuh ada ma Rena!” Mataku kembali ke fatamorganaku. Masih dengan nafas tersengalnya, dia menggeleng. Kupandangi dia, plus kerutan di dahiku yang kalau ditranslatekan artinya `so apa dong yang kamu mau?’
“Aku mo curhat nih,” setelah berhasil menstabilkan nafasnya. Nanda mendudukkan tubuhnya tepat di sampingku. OK, tempat sampah terbuka 24 jam kok!
“Gimana neh, aku kok bingung gitu deh. Sebenarnya dia ada feeling nggak sih ke aku and bla… bia… bla…
Aku cuma mengangguk seperlunya, mendengarkan keluh kesahnya. Kalo mo dibilang neh, masalahku ndak ada bedanya ma dia, hanya rasa yang kurasa sendiri. Kalo mo ditarik garis lurusnya, girls tetap cewek. Masalahnya itu-itu saja. Aku jadi hafal jalan ceritanya.“Gimana dong, Thi?”
Gimana apanya, aku saja sampai detik ini berdetakpun tak tahu harus bagaimana agar rasa itu tidak kurasa sendiri. Karena praktek tak bisa terpaksa keluarkan teori yang kukutip dari sebuah novel. Fiksi memang, tapi kadang serangkaian kalimat dari sebuah fiksi sanggup jadi insipirasi walaupun 95 % kadang gagal.“Be your self, tunjukin diri kamu apa adanya!”
Dari novel mana yah kaiimat ini, saking banyaknya fiksi kadang aku merasa hidupku fiksi belaka. Eh, tiba-tiba senyum merekah di wajah Nanda. Nah lo, tadi bete banget, sekarang mentari bersinar lagi. Cuman karena satu kalimat sakti? Atau karena sudah buang “sampah” pada tempatnya? Whatever lah…
Lembar IIIDurian jatuh yah pasti di bawah pohonnya. Cinta jatuh, siapa yang tahu? Jangan tanyakan alasan mengapa aku jatuh cinta, jangan tanyakan batasan sebesar apa aku mencinta. Dan yang tak beralasan dan tak berbatasan itu akhirnya berujung tanpa balasan.
You wanna laugh? Silahkan. lni serius!!! Semua yang tak berbalas. Masih teringat jelas di memoriku saat kuikrarkan kalo `durian’ ku jatuh pada Andri. Bayangkan seberapa eksoftalmusnya mereka. Andri? Hanya seorang Andri. Bukan pangeran dengan kuda putihnya, bukan Mamoru, cowok komik kesayangannku. Pokoknya Andri dan pangeran impianku beda amat-amat pangkat tak berhingga jauhnya. Tapi jangan pernah tanyakan mengapa harus dia. Karena aku pun hendak bertanya. Tertawalah! Bahkan seorang Andri pun yang mereka anggap `tak ada apa-apanya’ dibandingkan pangeran impianku tak sanggup kuraih apalagi jika dia benar-benar seorang pangeran! Ini bisa digambarkan bagai itik buruk rupa berharap angsa! Yah ndak bisa lah! Beda banget!!!Forget it! Kata Sani aku bisa bertemu dengan orang yang lebih baik seribu pangkat tak berhingga kali dari Andri, tapi akankah durianku jatuh lagi? Aku tidak yakin, kucoba raba hatiku. Masih utuhkah?Di perjalanan waktu, ada lagi durian yang jatuh. Yani, dengan pangeran slankernya. Semua yang mendengarnya menjerit takjub, kaget atau sangsi. Entahnya, hanya mereka yang tahu makna jeritan itu. Pangeran slanker… Kalo mo dikata, dari kacamata dunia, he’s not. Nothing special lah! Tapi seperti dikatakan tadi yah, durian jatuh? Siapa peduli!! Tapi dari kacamata Yani, he’s someone special, he’s everything she wants! Beda Yani, beda Anna. Jangan lagi bertanya jika duriannya jatuh pada sosok yang hiasi mimpinya, seseorang yang kembali membuatku… (how to describe… hmmm… ) Brothernya. Bagi orang , sedikit spesial, antik, unik, klasik….. Tapi toh yang antik, unik dan klasik itu tetap menawan hati. The next person, Sani. Siapa yang sangka kalo brothernya itu….(its top secret) yang jelas buat aku tertawa. So, jangan tanyakan di mana jatuhnya cinta?
Lembar IV
Burung pipit lebih sehat jikalau terbang bebas di angkasa, mengarungi angkasa semaunya.
“Kenapa baru pulang sekarang? Ini udah jam 7 malam!” tegas Papa padaku.
Akh badan sudah letih abis, masih juga dipertanyakan kemana sayapku membawaku seharian ini. Haruskah kukatakan kalau sejak tadi aku berputar-putar di rimba kampus, memanjat tiap dahannya sambi! berharap dahannya tidak rapuh. Memangnya kemana lagi `bayi’ besarmu ini?“Yah, ini juga baru selesai lab,” jujurku. Ini emang jujur, amat sangat jujur. Walaupun aku emang pengarang yang rada-rada hebat. Sadarkah kalau habitatku memang hanya rumah ke rimba, rimba ke rumah dan seterusnya. Bahkan saking monotonnya aku sampai di titik kulminasi jenuh yang teramat sangat.Ugh, sampai kapan aku di sangkar emasku. Ups, ini bukan umpatan Tuhan, jangan memasukkannya ke hati. Malah aku amat sangat bersyukur telah dilahirkan di keluarga sempurna ini. Apapun inginku pasti kudapatkan, yah kecuali melebarkan sayapku dan terbang sesukaku. Di sangkar emasku, semua tersedia. Tak adalagi kata `lebarkan sayapmu’ gapai negeri jauh. Aku cuma katak dalam tempurung, seberapa jauhpun jiwaku ingin terbang membawa ragaku tetap ragaku terkunci disini. Yah mungkin di satu masa, akan ada seseorang yang meminjamkan sayapnya untukku agar sanggup kuarungi angkasa jauh.Lembar V
Aku ingin seperti dia, mungkinkah seperti dia adalah kebahagiaan? Apapun kau, siapapun kau, selalu ada cerita di labirin panjang, bahkan kadang lebih indah dibandingkan jika harus jadi dia. Kupandangi sosok itu lekat-lekat, cantik,manis, tajir, cerdas, pokoknya she’s everything the girls want!
“Hallo Miss, kamu ada di alam mana?” Iren membuyarkan lamunanku. Aku bahkan tertawa sendiri. Iren hanya mengernyitkan dahi. Mungkin dia pikir ambang kewarasanku benar-benar telah kulewati.“Ngapain kamu ketawa kayak gitu?”“Nggak kok, just… hmmm something, pikiran tolol nyangkut di otakku!”
Dia pun berlalu setelah mengambil beberapa catatan yang akan dicopynya untuk kelas hari ini. Berlalunya Iren, diikuti tatapan mata-mata iri. Apa kubilang, she everything people want! Terserah pokoknya people, mo wowen mo men kek, terserah!“Thi, ini tempat buat aku kan!” Desi mengempaskan tubuhnya di dekatku. Who’s she? Never mind. Aku cuma mengangguk. Mili tengah asyik membaca beberapa catatannya. Maklum sebentar lagi ujian tengah semester alias MID merangkak mendekati. Fuihhhh, belum lagi badai berhenti bergerak, Tsunami datang menghadang. Beberapa menit kemudian Iren telah kembali, mendudukkan tubuhnya di sebelah Mili (imagine by yourself, gimana aturan tempat duduk terserah imajinasi masing-masing) yang jelas siang ini posisi penyerangan telah diatur sempurna. Serangan bentuk apapun yang akan dilemparkan sang dosen siap kami hadapi. Yah iyalah, bentang pertahanan telah dibangun sekokoh mungkin.Waktu meniti kembali, dan selang lima menit kertas pertanyaan itu meluncur ke hadapan kami masing-masing. Pertempuran dimulai….
“Akh…. akhirnya!” Desi mendesah panjang“Welcome to the next battle!” aku bersuara.
Kami kembali tertawa. Benteng pertahanan kali ini sukses. Sisa menyisikan beberapa laporan, perulangan hari ini akan segera berakhir. Dan seperti biasa besok menanti perulangan berikutnya
“Thi, kamu jangan-jangan nge-pause waktu, biar kita-kita stop dan kamu jalan terus beresin serangan laporan berantai,” tatap Iren setengah tersenyum padaku.
“Iri banget lihat kamu,” lanjutnya lagi, “aku pingin kayak kamu.”
What wrong to the world!!! Beberapa jam yang lalu aku mo jadi dia, sekarang eh dia malah mau jadi aku. Kuakui, manage waktu aku bisa, walaupun akhirnya terlunta-lunta. Tapi sebisaku menyelesaikan semua dengan baik. Tapi ini rahasia, aku tidak pernah ingat apa yang sudah kutuliskan di tiap lembaran laporan itu, tidak sedikitpun. Tahukah kau? Aku bukan Thi yang sempurna yang kau lihat, aku bukan gadis cerdas, lincah, ceria atau apalah yang positif tentangku. Aku adalah kesalahan! Dan kau bilang kau iri pada `kesalahan’ ini! Nobody is perfect! Aku jadi tahu jawabannya mengapa di rimba kampusku, diantara jenuhku ada juga keindahan, kesempurnaan yang terbentuk dari sesuatu yang saling menyempurnakan. Sesuatu itu kusebut persahabatan…..
Lembar IVAku telah mencarinya di seribu tumpukan jerami, namun dia tetap tak berwujud. Kini aku menyerah, berhenti mencarinya. Menunggu di padang Sahara yang penuh fatamorgana mewujudkan nyatanya lewat abstrak tak tersentuh. Akankah penantian ini berujung? Inikah yang kucari? Inikah tujuan hidupku? Apa arti semua lembaran ini? Menyerah? Mungkin ini kata tepat untuk sosok itu. Aku sudah menyerah saat tahu hatinya telah membatu, dipahati penuh nama gadis terkasihnya. Nama yang takkan mungkin terhapus walau musim berganti.
Pencarianku terhenti, walau goresan itu cukup perih. Tapi kadang aku pun masih bertanya. Diakah yang kucari? Diakah yang kunanti? Atau hanya fatamorgana yang dinyatakan!Ini lembar terakhir dicatatan semusim asaku. Asa yang terakhir coba kuwujudkan. Aku…. Siapa aku? Pantaskah dicari? Pantaskah untuknya? Untuk dia yang telah diciptakan Tuhan untukku.Berubah? Aku sudah pernah coba berubah demi seorang Andri. Menjadi apa yang dia inginkan, menjadi seperti gadis terkasihnya, tapi hampa, kosong. Tidak ada reaksi sama sekali. Aku bukan apa-apa yang pantas untuk seorang pun!Aku sudah letih bertanya, mempertanyakan kehadirannya, memperdebatkan eksistensinya, memimpikan wujudnya. Mengukirnya di beberapa lembaran memfiksikan semua abstrak yang coba kusentuh. Nyatanya? Bahkan abstrak pun bukan untukku.Kini, di catatan akhir semusim asaku, kutuliskan asa untuknya. Untuk DIA yang diciptakan Tuhan untukku.
Menantimu bagai menghitung bintang di lautan angkasa. Temaram menemani saat mencoba menggapaimu. Akhimya sadari kau bukan untuk digapai, bukan untuk dicari, bukan untuk dinantikan penuh harap. Jangan berharap, katamu. Aku tak pernah bisa berhenti berharap, karena harapan ini yang wujudkan kau. Temani temaramku dalam menghitung gemintang. Aku sudah lelah berharap, telah jenuh berdiri di panasnya Sahara. Kapan kau datang? Kata orang, semakin aku berharap kau datang, kau takkan pemah datang. Jadi aku harus bagaimana?

No comments: