Sunday, November 23, 2008

A Walk to Remember of Legian

A Walk to Remember of Legian
Juni 26th, 2008 by yohanarossi

Malam pekat terbentang di langit Legian. Endirastomo melangkahkan kakinya menyusuri deretan tempat hiburan yang ramai dan penuh sesak. Ingin sekali rasanya membaur bersama mereka disana, menikmati musik yang berdentam di dalam kafe ataupun sekedar mengepulkan asap rokok yang sejak tadi dihirupnya. Tapi hatinya tak bisa menepiskan sedikitpun bayang-bayang Cinderella, gadis yang baru 2 jam lalu memutuskannya. Endirastomo tidak habis pikir kenapa Cinderella memutuskannya. Dia mendengar gosip kalau mantannya itu lagi naksir sama Dandy, kakak kelasnya waktu SMU. Mungkin hanya sekedar gosip tapi dia mendengarnya sendiri dari Mamat, kawan akrabnya.
“Hoiii, Tommy, ngapain disitu?” Endirastomo menoleh cepat. Ternyata Mamat. Cowok itu memarkir Lancernya di samping Endirastomo.
“Lagi jalan! Sori ya aku lagi buru-buru nih?” Endirastomo terus berjalan tanpa menghiraukan Mamat. Mamat terus memanggil namanya sampai dia membelok kearah Paddy’s Café. Endirastomo menyumpah dalam hati.
Suasana masih tetap sama. Orang-orang berlalu lalang di sepanjang jalan. Lampu-lampu bersinar membutakan matanya saat melewati Paddy’s Café. Tak ada yang ingin dilakukannya kecuali pulang dan berendam, seandainya bisa melenyapkan nama Cinderrela dari benaknya barang sedetik saja. Cinderella adalah cinta pertama. Walau Endirastomo tidak mengerti definisi cinta, tapi dia yakin kalau Cinderella-lah yang dicintainya. Gadis itu adalah gadis tercantik yang pernah dia temui, mungkin juga karena dia belum bertemu Dian Sastro. Endirastomo merasa sangat jatuh cinta pada Cinderella.
Endirastomo berjalan menuju tempat parkir di sepanjang jalan di depan tempat hiburan dan meraih setang Touch-nya. Motor kesayangannya itu melaju kencang menyusuri jalan di sepanjang Kuta yang ramai. Endirastomo mengerem motornya saat jalan mulai macet berat. Kembali dia menyumpah dalam hati.
Duerrrr dar der dorrr. Endirastomo hampir terloncat dari motornya mendengar ledakan itu. Jalan bergetar. Gempa bumi, pikirnya khawatir. Orang-orang berteriak panik. Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Ternyata si Mamat.
“Tom, ancurrrrrrrrrr deh mobilku. Disini kayak perang…hiiiiiii ada bom meledak, teroris kali. Tom kamu dimana? Aku masih hidup lho. Aku ada di sekitar kafe. Mobilku kan tak parkir depan Paddy’s Café sekarang udah jadi helikopter, tau terbang kemana? Tom jemput aku dong!” Endirastomo panik.
“Oke. Tunggu ya jangan panik.”
Endirastomo berbalik arah menuju ke arah ledakan. Kepalanya terus muncul berbagai dugaan tentang ledakan itu. Ataukah kembang api meledak.
Endirastomo menghela nafas. Tempat-tempat hiburan yang baru beberapa detik ditinggalkannya sudah menjadi rata dengan tanah. Bau asap dan abu menyesakkan nafasnya. Tim SAR mulai mengevakuasi korban dan petugas pemadam kebakaran masih memadamkan api yang menjalar kemana-mana. Endirastomo hanya terpaku. Orang-orang berlarian di sekitarnya. Jerit tangis dimana-mana. Pandangannya tertuju pada seorang gadis yang tengah sibuk diantara puing-puing bangunan yang terbakar. Mungkin sukarelawan yang ikut membantu tim penyelamat. Tanpa sadar Endirastomo turun dari Touch-nya dan menghampiri gadis itu.
“Hai sedang apa?” Endirastomo menyapa. Gadis itu menoleh sehingga Endirastomo dapat melihat air matanya. Tangan gadis itu kotor oleh abu tapi dia tetap mengaduk-aduk reruntuhan tembok yang hancur lebur. Endirastomo berjongkok di sampingnya.
“I was looking for my cat,” kata gadis itu. Endirastomo serasa disamber geledek. Wah bule, batinnya, aku nggak bisa Bahasa Inggris nih.
“Oke. Oke Your what? Anu, where?….eh..ngawur,” Endirastomo menggaruk kepalanya. Beberapa ketombenya rontok di bajunya yang hitam. Untung malam jadi nggak kelihatan.
“Kucingku tadi berjalan di belakangku dan setelah ledakan terjadi dia langsung menghilang begitu saja,“ keluh gadis itu panik dengan Bahasa Indonesia yang fasih. Oalah cuma kucing to, batin Endirastomo.
“Eh kenalan dong, aku Tommy,” Endirastomo mengulurkan tangannya. Gadis itu acuh dan sama sekali tidak memandangnya. Endirastomo merasa inilah gadis tercantik yang pernah ditemuinya. Hidungnya mancung, kulitnya seperti kapas, dan rambutnya seperti rambut jagung yang ditanam di ladang.
“Aphrodite McKenzie. Panggil aja Aphro,” jawab gadis itu pendek. Wah cakep bener namanya kayak kucingnya eh orangnya, pikir Endirastomo.
“Kamu turis apa menetap disini?” tanya Endirastomo penasaran setengah mati.
“Ngomong-ngomong aku mesti pergi nih sekarang. Udah dulu ya.” Aphro mulai berjalan meninggalkam Endirastomo.
“Tunggu, aku anter ya?” seru Endirastomo membuntuti gadis itu. Pahro berhenti. Gadis itu memandang Endirastomo lekat-lekat. Tatapannya serasa membekukan sekujur tubuh Endirastomo.
“Kalau nggak mau ya sudah. Kita bisa ketemu lagi kan?” tanya Endirastomo penuh harap. Aphro tersenyum hangat.
“Tentu tapi kupikir kau nggak akan terlalu suka.” Aphro mendorong tubuh Endirastomo. Cowok itu hampir terjengkang ke dalam selokan.
“Hard Rock jam sepuluh besok,” teriak Endirastomo. Endirastomo melonjak kaget saat intro Lose Yourself-nya Eminem mengalun kencang dari HP-nya. Ternyata si Mamat.
“Sori Mat, tunggu bentar ya?” Endirastomo langsung ngabur ke arah Touch-nya.
#
Endirastomo bangun jam lima pagi lalu mandi selama sejam biar wangi. Lalu dipakainya kargo brown kesayangannya dan sweatshirt Billabong yang dibelikan maminya di Jogja. Endirastomo berlari tergesa-gesa kearah Touch birunya. Stiker SUM 41 menempel sangar di body Touch-nya. Endirastomo menyambar helm dengan stiker SLIPKNOT dengan kasar lalu melarikan motornya kencang. Di perempatan dia hampir ngembat tiang listrik dan dua gardu polisi. Tapi nggak sampai ditilang soalnya keburu kabur. Dengan penuh percaya diri dia menunggu di depan Hard Rock Café sejak jam tujuh kurang bahkan sebelum Hard Rock buka. Sempat juga digodain sama waitress yang cantik.
Sejam…dua jam….tiga jam..Endirastomo menunggu Aphro di pojok café. Bahkan dia sudah sepuluh kali pesan minuman. Akhirnya yang ditunggu pun datang. Dengan senyum manisnya, Aphro melambaikan tangan. Endirastomo membalas. Aphro mirip sekali dengan Natalie Portman siang itu. Rambutnya yang merah tembaga panjang terurai sampai punggungnya. Endirastomo terpesona. Gile, ni cewek cakep bener, mesen dimana ya? Endirastomo membatin.
“Hai, sudah lama?” Aphro duduk di seberang Endirastomo.
“Belum, belum setahun.” Aphro tertawa. Akhirnya mereka mulai ngobrol seru. Dari masalah ledakan di Legian tadi malam sampai masalah baju favorit.
“Jadi besok bisa ketemu lagi?” tanya Endirastomo penuh harap. Aphro tersenyum. Hanya tersenyum. Endirastomo masih memandangi gadis itu hingga menghilang diantara orang-orang yang berjalan keluar masuk kafe. Endirastomo kembali duduk dan menyeruput coffee shake untuk yang kesekian kalinya.
“Tom, ngapain nongkrong sendirian?” Endirastomo menoleh. Ternyata Mamat. Dengan agak kesal Endirastomo memandanginya.
“Gila, tampangmu sadis amat. Kayak abis ditinggal pacar…oops sori. Kamu masih bete ya ditinggal Cindy?” Mamat ikut menyeruput coffee shake Endirastomo.
“Eeeh pesen sendiri dong, maunya gratisan aja,” kata Endirastomo sewot. Sementara lagu “Andai”-nya Gigi mengalun perlahan membawa suasana siang yang semakin panas, Endirastomo mulai berpikir, bisa nggak ya jadian sama Aphro. Paling enggak sampe tu bule balik ke Sydney.
#
Day after day, time passed away………, lagunya WL, kayak gitu untuk nggambarin hari-harinya Endirastomo. Dimana ada dia disitu ada Aphro, paling nggak mereka udah temenan lebih dari dua minggu sejak ledakan di Legian. Dan itu pula yang mengganggu pikiran Endirastomo, cuma satu pertanyaan, kapan mereka bisa jadian. Si Aphro sendiri kayaknya nggak ambil pusing, dia sibuk jadi sukarelawan untuk membantu korban di Legian. Endirastomo pun tak mau kalah, dia jadi penyelamat dompet korban.
Akhirnya suatu saat, saat sunset di pantai Kuta. Langit berwarna jingga, matahari mulai merangkak ke ufuk barat. Suasana pantai sepi. Mereka berdua, Endirastomo dan Aphro, berdiri memandang lurus ke cakrawala. Endirastomo merasakan pasir menyusup di sela kakinya yang terbenam air laut.
“Kapan kamu kembali ke Sydney?” Endirastomo berdoa dalam hati berharap Aphro menjawab akan kembali kesana seratus tahun lagi.
“Aku nggak tahu. Kalau urusanku udah selesai, mungkin. Kenapa?” Endirastomo menggaruk kepalanya, sesuai kebiasaanya saat SMP pas pelajaran Matik.
“Kamu pernah dengar lagunya NSYNC yang “Girlfriend” itu?” tanya Endirastomo. Aphro mengangguk.
“Gimana kalau bukan NSYNC yang nyanyi tapi aku?” Endirastomo langsung nembak.
“Ya nggak papa, paling kasetnya nggak laku.” Rasanya Endirastomo pingin tenggelam ke dalam pasir. Malu abis.
“Maksudku…aku…”
“Oke aku ngerti kok. Tapi kamu pingin jawaban yang jujur kan?” Mati aku, batin Endirastomo. Dia sudah ngerasa seratus persen ditolak.
“Kamu sama sekali nggak tahu soal aku. Aku akan bilang sekarang.”
“Jangan. Aku tahu kok kamu udah punya cowok. Nggak papa asal jangan sama si Mamat aja. Bener kok.” Aphro tertawa.
“Kamu ingat saat dua minggu lalu kita ketemu. Aku bukannya nyari kucingku, tapi aku nyari mayatku.” Endirastomo memandang Aphro tak percaya.
“Kamu bisa lihat namaku di daftar mayat yang berhasil diidentifikasi.”
Brukkkkkkkkk. Endirastomo jatuh pingsan.

No comments: